Friday, April 24, 2009

Iran, Total to continue cooperation: Nozari


TEHRAN, Apr. 22 (MNA) – Iran will continue its cooperation with the French oil company, Total SA, Iranian Oil Minister Gholamhossein Nozari said during his visit to Total’s pavilion at Iran’s international oil show in Tehran.

Total’s Managing Director for Middle East Projects Philippe Rochoux highlighted Iran’s giant oil and gas resources, adding that his company has implemented several oil and gas projects in Iran during past years, IRNA reported on Wednesday.


He further expressed hope that the existing cooperation between the Iranian Oil Ministry and Total SA would further boost.


Iran’s 14th International Oil, Gas, and Petrochemicals Exhibition kicked off on Tuesday in Tehran. More than 450 foreign companies from 34 countries and nearly 860 Iranian firms have taken part in the exhibition.


Total has a memorandum of understanding with the state-owned National Iranian Oil Company to develop Phase 11 of the huge South Pars field but the project has been overshadowed by haggling over contract terms, according to Reuters.


Seyfollah Jashnsaz, head of the National Iranian Oil Company said in March, “We are not happy with the work Total has done on Phase 11 in South Pars. Unfortunately this company has wasted time and our national project has been delayed”.


http://www.mehrnews.com/en/NewsDetail.aspx?NewsID=865709


Wednesday, April 22, 2009

Pelobi Iran : Apa yang Harus Diketahui Bangsa Iran dan Israel

Washington DC/Barcelona, Spanyol – Bayangan panjang konfrontasi Iran-Israel seakan-akan telah ditentukan dari sananya. Mendengarkan para politisi, orang akan merasa bahwa kekuatan di luar kontrol kita menghela kita menuju bencana abad 21. Tetapi semua itu disulut oleh kebodohan dan dehumanisasi. Israil dicap sebagai “Iblis Cilik”, sementara Iran digambarkan sebagai ekstrimis Muslim yang irasional.

Benar, kebodohan-kebodohan dalam masyarakat kita yang terhormat ini dilakukan oleh pemimpin-pemimpin garis keras yang meminta darah dan kehancuran. Mereka memanipulasi dan mendistorsi; lebih dari itu, mereka melakukan apapun untuk menghalangi kita menyadari bahwa sang musuh memiliki sebuah wajah.

Kita bukanlah bocah ingusan yang percaya begitu saja bahwa pengetahuan akan satu sama lain bisa menawarkan solusi ajaib. Kita percaya bahwa kesalingpengertian akan mendorong kita saling berempati dan mengasihi, serta menghentikan pertumpahan darah dan perang.

Berikut adalah beberapa hal pokok yang harus diketahui oleh bangsa Iran dan Israel mengenai satu sama lain:

1. Israel adalah sebuah demokrasi yang antusias namun belum sempurna.

Pada kunjungannya ke Amerika Serikat musim gugur lalu, Presiden Mahmoud Ahmadinejad menyatakan bahwa tidak ada homoseksual di Iran. Di Israel, ada banyak homoseksual dan mereka adalah satu-satunya di Timur Tengah yang memiliki parade gay tahunan di ibu kota mereka.

Demokrasi di Israel berarti setiap warga Negara dan kelompok (Yahudi maupun lainnya) berhak mengekspresikan diri dan berkumpul di publik. Juga, setiap warga negara setara di hadapan hukum, memiliki hak voting, kebebasan beragama, akses pendidikan, perawatan kesehatan, dan kesempatan ekonomi.

Tak diragukan lagi, demokrasi Israel masih dalam perkembangan. Penyatuan agama dan negara telah membatasi hak-hak dan kebebasan rakyat (contohnya, rakyat Israel yang berbeda agama tak dapat menikah tak dapat menikah di negeri itu), dan secara de facto status kedua warga Arab Israel adalah sebuah penghinaan terhadap cita-cita demokrasi di negeri tersebut. Untungnya, banyak orang di Isreal tak pernah lelah berjuang merubah sistem itu dari dalam.

2. Iran adalah sebuah quasi-demokrasi yang bersemangat.

Memang jauh dari demokrasi, namun juga bukan kediktatoran sepenuhnya. Meskipun memiliki pembatasan-pembatasannya yang tegas, Iran memiliki masyarakat madani yang hidup dan memiliki blok-blok bangunan bagi demokrasi yang baik. Perjuangan rakyat Iran bagi demokrasi berawal dari Revolusi Konstitusional 1906. Sejak itu, rakyat Iran telah mendapatkan dua pelajaran berharga.

Pertama, perang dan demokrasi tak bisa dicampur. Ketika ketegangan antara Iran dan dunia luar meningkat, yang pertama membayar adalah aktivis-aktivis pro demokrasi dan hak asasi manusia Iran. Bagi Iran untuk melangkah ke dalam system demokrasi membutuhkan perdamaian dan kedamaian; bom dan surgical strikes akan membawa ke arah sebaliknya.

Kedua, ketika Anda melakukan sebuah revolusi, Anda tahu siapa yang sedang dilawan, dan tak penting bagi siapa revolusi itu dilakukan. Bangsa Iran memiliki sedikit hasrat akan revolusi lainnya. Tak sepopuler pemerintahan mereka saai ini, mereka lebih suka perubahan bertahap dan terkelola.

3. Jejalan dinamai dengan nama penyair.

Sebagaimana Iran, Israel menaruh nilai-nilai hebat pada kata-kata tertulis. Di Isreal, jajalanan dinamai dengan nama para penyair – penulis yang membangkitkan kembali semangat rakyat dan bahasa kuno. Pena dan imajinasilah yang menciptakan bangsa ini, bukan pedang dan otot. Sebagaimana di Iran, percakapan sehari-hari di Israel dibumbui referensi-referensi susastra selain hal-hal praktis.

4. Bangsa Iran kesepian dan suka curiga.

Tak ubahnya orang Israel, rakyat Iran merasa sangat terisolasi di Timur Tengah. Mereka dikepung oleh orang-orang yang berbeda agama dan bahasa. Iran adalah mayoritas Persia dan Shi’ite; tetanga-tetangganya mayoritas Arab dan Sunni.

Iran juga tak memiliki banyak teman di luar Timur Tengah. Jika pun ada, bangsa Iran yakin komunitas internasional tak pernah bersikap adil. Di abad terakhir ini saja, bangsa Iran melawan kolonisasi dan intervensi asing yang berjalan selama berdekade-dekade, belum menyebutkan delapan tahun perang melawan Saddam Hussein, sementara seluruh dunia memihak Irak.

5. Zionisme bukanlah suatu kata kotor.

Dalam sebuah pertunjukan ketaksopanan, banyak pemimpin Iran menyebut Iran sebagai “rejim Zionis”. Ketika disebut “rejim” mungkin tak berpangaruh, karena bagi orang Israel, Zionisme bukanlah suatu kata kotor.

Dari dalam, Zionisme adalah sebuah gerakan pembebasan nasional, yang bertujuan menciptakan rumah yang aman bagi orang-orang Yahudi, serta kebudayaandan identitas nasional mereka. Zionisme adalah jawaban orang Yahudi pada dorongan berabad untuk menghapus mereka dari sejarah. Ketika Ahmadinejad cs berbicara tentang dekatnya ajal Zionisme, sesungguhnya mereka tengah memperkuat gerakan yang coba mereka eliminasi itu.

6. Simpati pada Palestina, namun tak tertarik dengan konflik Israel.

Sekalipun retorika Ahmadinejad sangat sengit, rakyat Iran tak terlalu memikirkan Israel. Mereka jauh lebih peduli akan kepincangan ekonomi dan merajalelanya korupsi. Memang simpati rakyat Iran jatuh pada Palestina, namun bagi mereka ini bukanlah persoalan yang negeri mereka harus terlibat aktif.

Rakyat Iran akan mempertahankan kemerdekaan dan teritori mereka mati-matian, tetapi mereka tak tertarik berkonflik dengan Israel. Rakyat Iran ingat akan serangan Aleksander ke Persia, penaklukan Arab pada abad ke 7 M, invasi Mongol, dan pemberontakan CIA melawan perdana mentri yang terpilih secara demokratis di tahun 1953. Namun tak ada ingatan akan konflik dengan orang-orang Yahudi, karena memang tidak ada. Orang-orang Iran akan menjaganya seperti itu.

Trita Parsi adalah pengarang Treacherous Alliance ― The Secret Dealings of Israel, Iran and the U.S., dan Roi Ben-Yehuda, penulis Israel Amerika yang tinggal di Spanyol, adalah kontributor Jewcy dan France 24. Artikel yang diperpendek ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews). Teks penuhnya dapat dibaca di www.haaretz.com.

Sumber: Haaretz, 19 Juli 2008, www.haaretz.com
Telah memperoleh hak cipta.

Mengapa Diplomasi dan Sekatan Tdak Boleh Dicampurkan

oleh Trita Parsi

17 Disember 2008

Washington, DC – Perubahan sering terjadi lebih cepat daripada yang bisa dipahami orang. Itulah yang terjadi pada realitas politik di Washington tentang Iran.

Dalam waktu kurang dari 50 hari, Amerika akan dipimpin oleh seorang presiden yang membuat dialog dengan Teheran sebagai janji kampanyenya .

Lebih mengejutkankan lagi, salah satu kelompok lobi paling berkuasa di Washington gagal untuk meyakinkan Kongres AS untuk meloloskan sebuah resolusi yang menyerukan blokade laut terhadap Iran. Padahal resolusi itu didukung oleh lebih dari 250 sponsor .

Debat tentang Iran di Washington saat ini bukanlah lagi soal perlu atau tidaknya berunding. Tetapi bagaimana, kapan, dan seperti apa tahapan perundingan-perundingan tersebut harus berlangsung. Namun ini tidak berarti bahwa dialog akan terjadi atau akan berhasil. Lanskap politik di Washington belumlah berubah. Washington masih tergantung pada penggunaan sanksi ekonomi untuk memperlihatkan kekuatan dan pengaruhnya.

Berbicara pada kepada Komite Urusan Publik Masyarakat Amerika Israel awal tahun ini, Presiden terpilih Barack Obama, mengatakan bahwa ia akan berpegang teguh pada seruannya untuk berunding dengan Iran dan menghentikan sikap “kalah sebelum bertanding”. Untuk memenuhi janjinya itu, Obama nampaknya telah berusaha untuk menyeimbangkan posisi pro-dialognya dengan mengadopsi kemungkinan untuk menambah sanksi ekonomi terhadap Iran.

Dalam kapasitasnya sebagai seorang senator, Obama adalah pendukung utama Undang-Undang Sanksi Komprehensif Iran, Akuntabilitas dan Pelucutan 2008 (Comprehensive Iran Sanction, Accountability, and Divestment Act 2008). Undang-undang ini akan mempertegas sanksi-sanksi yang ada sekarang dan membuka kemungkinan bagi terjadinya pelucutan lain. Obama berpendapat pada waktu itu bahwa sanksi-sanksi tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi diplomasi. "Selain upaya diplomasi yang agresif, langsung, dan berprinsip, kita harus terus meningkatkan tekanan ekonomi atas Iran", ujar Obama. Sebagian penasihat Obama telah membawa pernyataan ini selangkah lebih maju dan berpendapat bahwa gertakan (diumpamakan stick)– yang berarti sanksi-sanksi – harus diberikan lebih dulu dalam setiap pendekatan bujuk dan gertak (carrot and stick approach) apapun terhadap Iran.

Obama benar dalam soal pentingnya menggabungkan insentif dan ancaman untuk mendekati Iran. Sanksi-sanksi, secara teroritis, memang dapat membuat Amerika Serikat lebih berpengaruh atas Iran. Namun, cara berpikir seperti ini cukup bermasalah karena sebetulnya sanksi-sanksi yang sedang berlaku saat ini pun sudah membuat Amerika cukup berpengaruh.

Tetapi pengaruh ini hanya dapat digunakan dalam konteks negosiasi. Sanksi bisa berfungsi penting dalam negosiasi Amerika dengan Iran jika Washington bersedia untuk menghentikan sanksi tersebut dengan syarat Iran harus bisa merubah sikapnya secara signifikan.

Kesediaan seperti itu sejauh ini belum ada di Washington. Pengaruh, dalam pemerintahan Bush, masih difahami sebagai sebuah kemampuan untuk memperoleh sesuatu secara cuma-cuma. Pendekatan seperti itu jelas telah gagal; ia tidak mencerminkan negosiasi, tetapi lebih merupakan ultimatum dan ancaman.

Dalam negosiasi, Anda hanya akan memperoleh sesuatu dengan memberikan sesuatu. Dan sebetulnya memang bukan ancaman atau pemberlakukan sanksi baru yang akan mengubah perilaku Iran, tetapi justru tawaran untuk menghentikan sanksi-sanksi yang sekarang berlaku. Dengan pemberhentian sanksilah, Amerika bisa menguatkan pengaruhnya atas Iran.

Tapi tentu saja pengaruh ini hanya berfungsi jika Washington dan Teheran bersedia untuk maju ke meja perundingan. Karena itu, tendensi untuk memaksakan sanksi-sanksi baru sebelum pelaksanaan perundingan akan sangat menggangu agenda Obama. Memberlakukan sanksi-sanksi baru atas Iran – apakah sanksi itu berdasarkan kesepakatan kongres atau perintah eksekutif – hanya akan mengurangi prospek bagi diplomasi. Sanksi akan merusak suasana yang sekarang sudah mulai kondusif dan malah semakin meningkatkan ketidakpercayaan antara kedua pemerintahan. Akibatnya, Amerika justru akan kehilangan kesempatannya untuk menambah pengaruh atas Iran.

Hal yang sama tentu saja berlaku untuk Iran. Jika Teheran terus berusaha untuk melemahkan kebijakan-kebijakan Washington di kawasan Timur tengah untuk meningkatkan pengaruhnya di hadapan AS, itu hanya akan membuat perundingan menjadi lebih tidak mungkin.

Agar berhasil dengan agenda pro-diplomasinya, Obama tidak hanya harus menghindari anggapan yang menyesatkan bahwa Washington tidak memiliki pengaruh atas Iran. Ia juga harus mengakui bahwa memberhentikan sanksi-sanksi bisa jadi merupakan cara untuk membuat Iran berubah. Ia juga harus menahan diri untuk tidak mengacaukan proses menuju perundingan dengan memberlakukan sanksi baru. Tapi pertama-tama, ia harus membebaskan diri dari tekanan pemilih dalam negeri yang, secara historis, motivasinya untuk memberlakukan sanksi telah menghalangi terjadinya terobosan diplomatik AS-Iran.

Dengan demikian, kombinasi antara insentif dan ancamanlah yang akan mengamankan kepentingan-kepentingan AS di hadapan Iran. Di dalamnya, diplomasi harus menjadi yang utama dan sanksi-sanksi sebagai tambahan– bukan sebaliknya.

Trita Parsi adalah penulis buku Treacherous Alliance- the Secret Dealing of Israel, Iran and the US. Ia penerima medali perak Arthur Ross Book Award dari Dewan Hubungan Luar Negeri. Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dengan izin dari Bitterlemons-International.org.

Sumber: Bitterlemons-Internasional.org, 4 Desember 2008, www.bitterlemons-international.org.

Fadlallah: AS dan Iran Bisa Bekerja Sama

BEIRUT, KOMPAS.com - Tokoh ulama Syiah Lebanon, Selasa (14/4) di Beirut, menyampaikan keyakinannya bahwa AS di bawah Presiden Barack Obama akan bisa bekerja sama dengan Iran. Namun, kerja sama itu tidak akan menjadi persekutuan erat antara kedua negara tersebut.

Ayatollah Akbar Mohammed Hussein Fadlallah mengungkapkan keyakinannya bahwa Presiden Barack Obama tulus dalam upayanya memperbaiki apa yang disebut sang ulama sebagai ”citra buruk” Amerika di Dunia Arab dan Muslim.

Fadlallah adalah seorang mantan tokoh spiritual kelompok Hezbollah yang didukung Iran. Dia masih berpengaruh di antara para pengikut garis keras Syiah. Para pejabat Iran yang datang ke Lebanon pun kerap mengunjungi ulama terkemuka itu.

Fadlallah mengatakan, hubungannya dengan Iran tetap baik meski ”ada perbedaan pandangan” atas beberapa masalah. Namun, dia menolak menjelaskannya lebih jauh mengenai perbedaan-perbedaan itu.

Fadlallah (73) adalah pemimpin resmi tertinggi untuk sekitar 1,2 juta pengikut Syiah di Lebanon, kelompok komunitas terbesar di Lebanon.

Dia mengatakan, ada peluang untuk berdialog antara AS dan Uni Eropa di satu sisi, dengan Iran di sisi lain, terkait masalah program nuklir Iran ataupun masalah-masalah lain yang menjadi kepentingan AS, seperti Afganistan dan Irak.

Balikkan kebijakan

Sejak memegang jabatan sebagai Presiden, Januari lalu, Obama secara terbuka sudah berusaha merangkul Iran dalam pidato-pidatonya. Pemerintahannya juga membalikkan kebijakan Presiden AS sebelumnya, George W Bush, dan mengatakan berniat berunding secara langsung dengan Iran atas program nuklir negara itu, yang menjadi pokok ketegangan kedua negara.

Obama juga telah merangkul Suriah, yang pada masa pemerintahan Bush telah diisolasi karena dukungannya kepada kelompok-kelompok garis keras.

Saat berkunjung ke Turki, awal April lalu, Obama menyampaikan kepada dunia Muslim bahwa AS, ”Tidak dan tidak akan pernah berperang dengan Islam.”

Menurut Fadlallah, ketekunan Iran dan kemampuan mereka memasuki industri militer dan nuklir telah memaksa negara-negara Barat berbicara dengannya dalam posisi yang berbeda dari sebelumnya.

Meski demikian, Fadlallah menolak kemungkinan aliansi AS-Iran untuk menghentikan konflik-konflik regional. ”Tetapi, sangat mungkin kedua negara membangun hubungan yang normal,” kata Fadlallah.

Pemimpin Syiah Lebanon itu juga tidak percaya dengan kemungkinan serangan udara Israel yang didukung AS terhadap fasilitas-fasilitas nuklir Iran. Akan tetapi, disebutkan, pemerintahan garis keras baru di Israel bisa saja mengobarkan kembali perang terhadap Palestina, Suriah, dan Lebanon.

”Kami telah mendengar kata-kata yang indah (dari Obama). Namun, persoalannya adalah apakah kata-kata itu bisa diwujudkan menjadi kenyataan?” ujar Fadlallah seperti juga pernah disampaikan pejabat-pejabat Iran.

Dia menambahkan, Obama berusaha memperbaiki citra AS, tetapi masalahnya adalah AS bukanlah negara yang didasarkan atas individu-individu semata, tetapi sebuah negara yang berdasarkan kekuatan lembaga.

Fadlallah menguraikan, kebuntuan perundingan damai Israel-Palestina menjadi ujian pertama bagi pemerintahan baru AS. Hal itu sekaligus menjadi ukuran, apakah Obama mampu menekan Israel untuk berkompromi.

Ditambahkan, dukungan terhadap Israel dari sejumlah anggota Kongres AS dan kelompok-kelompok lobi pro-Israel bisa menjadi halangan untuk meningkatkan hubungan AS dengan dunia Arab.

Fadlallah menolak tuduhan Mesir bahwa Hezbollah telah merekrut orang-orang untuk melakukan serangan di Mesir. Dia menilai tuduhan itu hanya untuk menghancurkan citra Hezbollah yang bertempur dengan Israel di Lebanon selatan.

http://id.news.yahoo.com/kmps/20090416/twl-fadlallah-as-dan-iran-bisa-bekerja-s-70701a2.html

Monday, April 13, 2009

Iranian Nuclear Program

Iran's nuclear program dates back to 1989, when the Russian government agreed to complete the reactor at Bushehr. It was a year of optimism in the West: The Iran-Iraq War ended the summer before and, with the death of revolutionary leader Ayatollah Khomeini, leadership passed to Ayatollah Khamenei and President Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, both considered moderates.

At the beginning of the year, George H.W. Bush offered an olive branch to Tehran, declaring in his inaugural address, "Good will begets good will. Good faith can be a spiral that endlessly moves on." The mood grew more euphoric in Europe. In 1992, the German government, ever eager for new business opportunities and arguing that trade could moderate the Islamic Republic, launched its own engagement initiative.

It didn't work. While U.S. and European policy makers draw distinctions between reformers and hard-liners in the Islamic Republic, the difference between the two is style, not substance. Both remain committed to Iran's nuclear program. Former Iranian President Mohammad Khatami, for example, called for a Dialogue of Civilizations. The European Union (EU) took the bait and, between 2000 and 2005, nearly tripled trade with Iran.

It was a ruse. Iranian officials were as insincere as European diplomats were greedy, gullible or both. Iranian officials now acknowledge that Tehran invested the benefits reaped into its nuclear program.

On June 14, 2008, for example, Abdollah Ramezanzadeh, Mr. Khatami's spokesman, debated advisers to current Iranian President Mahmoud Ahmadinejad at the University of Gila in northern Iran. Mr. Ramezanzadeh criticized Mr. Ahmadinejad for his defiant rhetoric, and counseled him to accept the Khatami approach: "We should prove to the entire world that we want power plants for electricity. Afterwards, we can proceed with other activities," Mr. Ramezanzadeh said. The purpose of dialogue, he argued further, was not to compromise, but to build confidence and avoid sanctions. "We had an overt policy, which was one of negotiation and confidence building, and a covert policy, which was continuation of the activities," he said.

The strategy was successful. While today U.S. and European officials laud Mr. Khatami as a peacemaker, it was on his watch that Iran built and operated covertly its Natanz nuclear enrichment plant and, at least until 2003, a nuclear weapons program as well.

Iran's responsiveness to diplomacy is a mirage. After two years of talks following exposure of its Natanz facility, Tehran finally acquiesced to a temporary enrichment suspension, a move which Secretary of State Colin Powell called "a little bit of progress," and the EU hailed.

But, just last Sunday, Hassan Rowhani, Iran's chief nuclear negotiator at the time, acknowledged his government's insincerity. The Iranian leadership agreed to suspension, he explained in an interview with the government-run news Web site, Aftab News, "to counter global consensus against Iran," adding, "We did not accept suspension in construction of centrifuges and continued the effort. . . . We needed a greater number." What diplomats considered progress, Iranian engineers understood to be an opportunity to expand their program.

In his March 24 press conference, Mr. Obama said, "I'm a big believer in persistence." Making the same mistake repeatedly, however, is neither wise nor realism; it is arrogant, naïve and dangerous.

When Mr. Obama declared on April 5 that "All countries can access peaceful nuclear energy," the state-run daily newspaper Resalat responded with a front page headline, "The United States capitulates to the nuclear goals of Iran." With Washington embracing dialogue without accountability and Tehran embracing diplomacy without sincerity, it appears the Iranian government is right.

Mr. Rubin is a resident scholar at the American Enterprise Institute. petikan dari artikel " What Iran Really Thinks About Talks" oleh Micheal Rubin

sumber : http://online.wsj.com/article/SB123958201328712205.html

Saturday, April 11, 2009

DI SEBALIK HASRAT IRAN BANTU AFGHANISTAN

Oleh Nahar Azmi Mahmud

KESANGGUPAN Iran untuk bekerjasama sepenuhnya dalam usaha membangun semula jirannya, Afghanistan, telah menarik perhatian dunia minggu lalu.

Penyertaan Iran dalam sidang antarabangsa di The Hague, kota negara Belanda itu, menjadi tumpuan jagat kerana beberapa sebab.

Pertama-tama, Iran berkongsi sempadan yang luas dengan Afghanistan.

Kedua, sidang itu tampaknya digunakan oleh para wakil Iran dan Washington untuk bertemu muka dan berkenal-kenalan.

Jangkaan para wakil itu tampaknya tepat kerana dalam sidang itu Encik Richard Holbrooke, Duta Khas Amerika mengenai Afghanistan dan Pakistan, serta Timbalan Menteri Luar Iran, Encik Mehdi Akhondzadeh, telah sempat bertemu untuk mengadakan perbincangan yang singkat.

Sidang antarabangsa itu dihadiri perwakilan daripada lebih 80 negara dan badan antarabangsa. Ia diadakan sebagai sebahagian daripada pengiktirafan dan usaha bersama bagi meningkatkan kemajuan dan memantapkan kedudukan Afghanistan yang kini dilanda ancaman militan Taleban dan Al-Qaeda.

Para pemerhati antarabangsa berkata, ini suatu tanda positif tentang usaha pentadbiran Obama untuk berbaik-baik semula dengan Iran dan menukar dasar luar negara itu.

Namun begitu mereka berpendapat bahawa lebih banyak usaha perlu dijalankan oleh Amerika untuk meyakinkan Iran. Mentelah ketika berkunjung ke Prague, ibu kota Republik Czech, baru-baru ini, Presiden Barack Obama berkata pertahanan nuklear di Eropah penting sebagai pertahanan menghadapi nuklear Iran.

Tidak hairanlah, Setiausaha Negara Amerika, Cik Hillary Clinton, yang mengetuai pewakilan Amerika dalam sidang itu mengatakan bahawa rundingan itu tidak membincangkan sesuatu isu antarabangsa yang penting. Dengan sendirinya beliau tidak menggalakkan sebarang jangkaan besar tentang pertemuan itu.

Menurut beliau, pertemuan itu merupakan pertukaran pendapat antara dua orang pemimpin negara yang baru berkenalan. Namun begitu yang lebih penting kedua-dua pemimpin itu bersetuju untuk berhubung terus.

Cik Clinton telah memuji ucapan Encik Akhondzadeh dalam sidang itu. Katanya, ini adalah satu tanda nyata bagaimana Iran mahu membantu Amerika dan negara-negara lain bagi menjamin masa depan yang baik untuk Afghanistan.

Para pakar berpendapat bahawa kehadiran Iran dalam sidang itu lebih didorong oleh rasa bimbang negara itu tentang perniagaan dan penyeludupan candu, eksport utama Afghanistan. Pemerintah Iran bimbang meningkatnya kes kecanduan yang kian parah dalam kalangan rakyatnya sendiri.

Mentelah di sebalik sekatan ekonomi dan senjata Barat, Iran ingin membuktikan ia mampu berdikari dan tidak boleh dipariahkan (disisihkan) begitu saja di pentas antarabangsa.

Dalam ucapannya, pemimpin Iran itu menegaskan bahawa negaranya bersedia untuk mengambil bahagian dan menjayakan rancangan untuk meningkatkan dan membangun semula negara jirannya, Afghanistan. Langkah ini katanya bukan saja baik bagi negara itu sendiri bahkan untuk kebaikan seluruh rantau berkenaan.

Beliau bagaimanapun mengatakan bahawa perbezaan dalam dasar-dasar negaranya dengan Amerika Syarikat mengenai Afghanistan masih kekal. Negaranya masih bimbang dengan gerakan dan operasi tentera pimpinan Amerika di Afghanistan.

Dalam ucapannya itu, beliau menegaskan bahawa langkah menghantar lebih ramai askar asing ke Afghanistan tidak akan memberi sebarang kesan kepada kestabilan negara itu. Malah kehadiran tentera asing di Afghanistan hanya memburukkan lagi keadaan.

Iran (seluas 1.6 juta km persegi dengan 61 juta penduduk) berkongsi sempadan sejauh 936 km dengan Afghanistan (seluas 647,500 km persegi dengan 26 juta penduduk). Empayar Iran (dulu Parsi) pernah meliputi Afghanistan dan begitu juga sebaliknya. Bahkan agama awal Parsi iaitu Majusi (Zoroastrian) berasal dari kawasan Balk di Afghanistan ketika di bawah empayar Parsi.

Afghanistan diduduki tentera asing sejak zaman penjajah British di India. Namun sejarah mutakhirnya ialah ketika tentera Soviet Union mendudukinya pada 1978 dan berakhir selama 10 tahun. Ketika ini, muncul gerakan Mujahidin yang berjaya menebus kembali watannya.

Malangnya Mujahidin berpecah sehingga muncul Taleban pada awal 1990-an yang dapat menyatukan negara itu. Namun Taleban dikutuk dunia kerana pemerintahan yang tegar dan membela Al-Qaeda. Menerusi bantuan Pakistan, Amerika telah dapat mengusir Taleban dan turut membangunkan pemerintahan Presiden Hamid Karzai.

Malangnya Afghanistan kini berpecah-belah dengan Taleban kian kembali bertaring dan turut menggalakkan penanaman candu (yang dulu diharamkannya).

Pada sidang di Hague itu, Cik Clinton menjelaskan keputusan Pentadbiran Obama mengerahkan 17,000 orang askar tambahan dan 4,000 orang jurulatih tentera untuk membangun satu pasukan tentera Afghan yang lebih kukuh.

Malah sidang itu juga dianggap sebagai satu peluang bagi Amerika dan sekutu-sekutunya dalam pakatan Pertubuhan Perjanjian Atlantik Utara (Nato) untuk menekankan kepada negara-negara jiran seperti Pakistan, Iran dan Russia peri pentingnya kerjasama itu kepada rantau tersebut.

Amerika bermusuh dengan Iran sejak penggulingan Shah Iran ketika Revolusi Republik Islam Iran pada 1979. Para pemberontak, termasuk ketua pelajar Mahmoud Ahmadinejad (kini presiden Iran), telah menangkap sejumlah tebusan di Kedutaan Amerika.

Kini permusuhan dua negara dicetuskan pula oleh hasrat Iran membina kelengkapan tenaga nuklear yang didakwanya untuk tujuan menjana elektrik tetapi dituduh oleh Amerika dan sekutu utamanya di Timur Tengah, Israel, sebagai langkah menghasilkan senjata.

Walaupun Presiden Obama berjanji akan mengutamakan dasar dialog atau diplomasi daripada ketenteraan seperti pendahulunya, bukan mudah bagi dua itu negara berdialog.

Cik Clinton memberitahu para wartawan dalam sidang itu bahawa tiada sebarang rancangan untuk mengadakan perrtemuan empat mata dengan pemimpin Iran itu dalam sidang ini.

Pada masa yang sama para diplomat Barat masih bertanya-tanya berapa lamakah Washington akan meneruskan tekanan ekonominya ke atas Iran?

Sekatan ekonomi Amerika dan kekejaman Israel ke atas Palestin merupakan dua perkara yang dibantah keras oleh Iran, kata pemimpin agamanya, Ayatollah Ali Khamenei. Jika dialog ini diadakan, dua perkara ini terlebih dulu hendaklah diatasi. Mentelah banyak aset Iran, sejak zaman Shah Iran, masih dibekukan di Amerika.

Namun para pengamat yakin Iran bersikap pragmatik dalam membezakan masalahnya dengan Amerika dengan kepentingan Afghanistan. Ramai penduduk Afghan menjadi pendatang asing dan bekerja sebagai buruh murah di Iran. Mentelah 19 peratus warga Afghan merupakan penganut Syiah. Sebagai negara majoriti Syiah, Iran perlu melayani dengan baik penganut semazhab.

Oleh itu, bukan mudah untuk Amerika menangani agendanya dengan Iran yang merupakan pemain penting di Timur Tengah dan tentulah Afghanistan.

Selagi beban sejarah tidak diatasi, kedua-dua negara akan terus curiga-mencurigai.

http://cyberita.asia1.com.sg/komentar/story/0,3617,139240,00.html

'Osama, Al-Qaeda Tidak Bersalah Dalam Serangan 9/11'

Juri TV dakwa tiada bukti kait pemimpin al-Qaeda

AMSTERDAM: Pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden tidak bersalah dan bukan perancang serangan 11 September 2001 (9/11) di Amerika Syarikat, dakwa juri sebuah program realiti di sini, menurut laporan, kelmarin.

Juri terbabit, dua lelaki dan tiga wanita memberi keputusan bersama penonton dalam program akhir Devil's Advocate di stesen Nederland 2, Rabu lalu.

Mereka membuat kesimpulan, tiada bukti Osama perancang serangan Pusat Dagangan Dunia di New York dan Pentagon, lapan tahun lalu.

Belanda adalah negara yang mengasaskan program menyerupai Big Brother dan paling kreatif dari segi format televisyen.

Program Devil's Advocate menunjukkan peguam bela utama dipegang oleh Gerard Spong mewakili penjenayah paling kejam dunia.

Dalam program akhir itu, Spong berjaya meyakinkan juri bahawa propaganda Barat adalah faktor terbesar menyebabkan Osama dikaitkan dengan 11 September.

Juri juga memutuskan bukti tidak mencukupi untuk membuktikan Osama pemimpin sebenar al-Qaeda. Bagaimanapun, juri berkenaan memutuskan Osama 'adalah pengganas yang memutarbelitkan Islam.'

Program itu mengemukakan lebih banyak isu untuk dibincangkan di Belanda mengenai kemasukan imigran asing dan masyarakat minoriti Islam di negara itu.

Belanda mengalami peningkatan sentimen anti-imigran dan anti-Islam selepas pembunuhan pengarah filem, Theo Van Gogh.

Spong diberi perhatian utama dalam perdebatan mengenai imigran dan Islam apabila menyuarakan sokongan supaya tindakan dikenakn ke atas ahli politik anti imigran, Geert Wilders. - Agensi

http://www.bharian.com.my/Current_News/BH/Sunday/Dunia/20090411212619/Article/index_html


Iran, Pakistan dan Afghanistan Bersama Untuk Keamanan Afghanistan

Afghanistan, Iran dan Pakistan sedang mencari visi yang umum untuk keamanan serantau, kata satu kenyataan pada Jumaat setelah berlaku pertemuan tiga menteri dari negara masing-masing.

Keputusan telah dibuat setelah pertemuan di Islamabad antara Timbalan Menteri Luar Iran, Mohammad Mehdi Akhundzadeh, Timbalan Menteri Luar Afghanistan, Mohammad Kabir Farahi dan Setiausaha Luar Pakistan, Salman Bashir, di Islamabad, lapor Press TV.

Ketiga pihak sepakat untuk bekerja sama untuk memajukan perdamaian, keamanan, kestabilan dan kemajuan strategic serantau menerusi kerjasama yang lebih mendalam berdasarkan kepentingan dan sikap saling menghargai dan kesesuaian dengan cita-cita Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Persetujuan itu menjadi dorongan yang kuat kepada ketiga-tiga pihak yang bekerjasama dalam politik, ekonomi, pembangunan, pembinaan semula, serta bidang sosial dan budaya.


Dalam kontek rantau berkenaan, ketiga-tiga negara tersebut menitikberatkan kekuatan mereka untuk memerangi terorisme dan tindakan ekstrimis, membatasi penyalahgunaan dadah dan jenayah tersusun, dan usaha meningkatkan kerjasama serantau.

Perjanjian erat berkenaan adalah rentetan keputusan yang diambil oleh para pemimpin dari ketiga-tiga negara dalam pertemuan mereka pada persidangan ECO di Teheran bulan lalu. Satu pertemuan peringkat menteri akan menetapkan tarikh untuk persidangan berikutnya yang akan diadakan di Teheran.

Kerjasama Jepun

Dilaporkan bahawa Iran dan Jepun berminat untuk memulihkan semula perdamaian dan kestabilan kepada kemusnahan akibat perang di Afghanistan, kata duta besar Iran ke Jepun pada hari Sabtu.

Abbas Araqchi berkata Iran dan Jepun bersedia untuk meningkatkan kerjasama di bidang anti-narkotik dan melaksanakan latihan teknik vokasional di Afghanistan, lapor IRNA.

Menyorot usaha lanjutan Iran dalam pembinaan semula di Afghanistan, dia mengatakan bahawa pemerintah di Tokyo bersedia membantu Iran dalam tugas-tugas besar.

Araqchi mengatakan bahawa Iran adalah rakan Jepun dan menegaskan harapan bahawa krisis sosial yang mendalam dan juga krisis yang lain yang berpunca dari penyeludupan dadah dari Afghanistan akan segera diatasi.

Sempadan timur Iran dengan Afghanistan dan Pakistan merupakan saluran terbesar penyeludupan dadah yang mana sejumlah besar dadah berkenaan disalurkan ke dunia luar. Pasukan keamanan Iran sering bertempur dengan para penyeludup dan pengusaha dadah di sempadan sangat sukar jika tidak dikawal.

Usaha mengekang penyeludup dadah telah menelan pembiayaan negara sekitar 600 juta dolar untuk selama dua tahun sahaja. Selama lebih dua dekad Iran telah kehilangan 3000 polis bantuan dan pegawai penguatkuasa undang-undang untuk kampen anti dadah.

http://www.iran-daily.com/1388/3371/html/national.htm#s371676

Bekas Duta Amerika : Masa Untuk Berurusan Dengan Iran


Oleh James Dobbins, artikel asal - Time to Deal With Iran

Beberapa diplomat Iran telah muncul di Baghdad, dilaporkan berada di kawasan kedutaan Britain. London berharap campurtangan Iran akan membantu sepenuhnya mengurangkan penetangan militia Shiah terhadap pasukan penjajah yang diketuai oleh Amerika dan Iran akan menyokong penubuhan kerajaan sementara Iraq. Ini semestinya suara yang aneh kepada ‘telinga-telinga’ rakyat Amerika, kerana biasanya yang kedengaran ialah rejim Iran sebahagian dari "paksi kejahatan." Namun ini bukanlah kali pertama Tehran memberikan bantuan kepada Washington dalam siri “memerangi pengganas”.

Sebelum berlakunya ‘Operation Iraqi Freedom’ di Iraq dilancarkan, telah wujud ‘Operation Enduring Freedom’. Amerika cenderung untuk berpikir sebelum kampen untuk membebaskan Afghanistan adalah seperti langkah permulaan dan usaha mendominasi. Tetapi sebenarnya perang untuk menjatuhkan Taliban telah lama berlangsung sebelum penglibatan Amerika. Ia dilakukan oleh pasukan bersekutu yang terdiri dari Iran, Rusia, India dan Pakatan Utara. Setelah peristiwa serangan September 11, 2001, Amerika dan bergabung dengan pasukan ini, dan dengan tambahan kekuatan udara Amerika yang besar, Pakatan Utara boleh menawan bandar Kabul dan menurunkan Taliban dari kekuasaan.

Dua minggu setelah jatuhnya Kabul, semua kumpulan dan elemen-elemen utama pembangkang Afghan berkumpul bersama-sama di persidangan yang ditaja oleh PBB di Bonn. Tujuannya adalah untuk menubuhkan sebuah kerajaan baru yang memiliki ciri yang lebih luas menggantikan kerajaan Taliban. Sebagai wakil kepada kerajaan Amerika, saya bekerjasama dengan baik dengan delegasi – delegasi Afghan dan wakil-wakil negara lain yang mempunyai pengaruh besar di antara mereka ialah wakil-wakil dari Iran, Rusia dan India. Semua wakil-wakil ini bekerjasama dan menyumbang penuh kepada persidangan ini. Terutamanya wakil daripada Iran. Dalam dua kejadian, wakil Iran telah memberikan sumbangannya yang begitu menjadi kenangan. Versi asal perjanjian Bonn, seperti yang didraf oleh PBB dan diubah oleh wakil-wakil Afghan yang hadir terluput dua perkara yang penting, iaitu demokrasi dan memerangi pengganas. Wakil-wakil Iran telah mengesan kelalaian ini dan telah berhasil mendesak semula bahawa kerajaan Afghan yang baru perlu memberikan komitmen kepada dua perkara tersebut.

Perkara kedua lebih tegas. Ketika proses persidangan itu sudah menuju waktu penamat. Kanselir Jerman yang dijadulakan akan tiba untuk upacara penutupan. Namun kami masih kekurangan untuk menyetujui isu-isu utama : susunan untuk satu kerajaan sementara Afganistan. Pakatan Utara telah menyatakan ingin memegang 18 dari 25 portfolio kementerian, yang mana telah ditentang hebat oleh kelompok-kelompok pembangkang yang lain. Dari pukul 2-5 pagi wakil-wakil utama - dari Washington, Teheran, Moskow dan New Delhi - bekerja bersama-sama dengan wakil PBB, Lakhdar Brahimi, dan tuan rumah Jerman untuk meyakinkan delegasi Pakatan Utara yang keras kepala untuk berkompromi dengan yang lain.

Dua minggu kemudian Presiden Hamid Karzai dan kabinet barunya telah dilantik di Kabul. Delegasi asing yang paling senior, dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Iran Kamal Kharrazi, telah berhenti di Herat sebagai satu cara atau usaha untuk mengambil salah seorang panglima, Ismail Khan, yang telah menghadiri dan menyokong kerajaan baru itu yang masih diragui oleh rakyat Afghanistan. Di persidangan untuk mendapatkan sumbangan di Tokyo pada bulan berikutnya, Iran telah berjanji memberikan bantuan $ 500 juta untuk pembangunan semula Afghanistan, satu jumlah yang terbesar dari negara-negara tetangga atau dari negara membangun.

Pada bulan Mac 2002, negara-negara penyumbang telah bertemu sekali lagi di Geneva bangi membincangkan keperluan keselamatan kerajaan baru Afganistan. Saya telah menemui diplomat Iran yang sama yang telah mebuktikan sumbangan yang cukup bermakna dalam perjanjian di Bonn. Pada kesempatan ini mereka bersama Jeneral Iran yang telah mengawasi dan mengirim bantuan ketenteraan kepada Pakatan Utara sejak beberapa tahun lamanya, sehingga memperoleh kemenangan di Afghanistan. Sebagai respon kepada permintaan Amerika bahawa masyarakat antarabangsa harus membantu untuk membina tentara kebangsaan Afghan yang baru, Iran menawarkan bantuan, pakaian dan melatih sebanyak 20.000 askar baru Afghan, dan untuk membina berek-berek tentera di Afghanistan.

Saya nyatakan, bahwa pasukan yang dilatih oleh Iranian mungkin bekerja denga satu doktrin militer yang berbeza dari apa yang diajarkan oleh jurulatih-jurulatih askar Amerika. "Janganlah bimbang," kata Jeneral Agung Iran itu, dengan nada separuh lucu, "kita masih menggunakan manual yang sama yang kamu (Amerika) tinggalkan pada tahun 1979 (selepas kejatuhan Shah Iran)." Saya mengutarakan bahawa tentera yang dilatih oleh Iran dan Amerika mungkin telah dipisahkan semangat kesetiaannya. "Baik," respon rakan saya, "kami telah melatih, dan melengkapkan peralatan dan meneruskan bayaran yang mana
dengannya kamu tumbangkan Taliban yang sekarang bergerak atas nama al Qaeda. Apakah kamu menghadapi masalah dengan kesetiaan mereka?" Saya terpaksa mengakui bahawa kami tidak.

Perkara ini dan tawaran Iran untuk bekerjasama mendukung kerajaan Karzai dan menentang al Qaeda dan kumpulan ekstrimis yang lain sepatutnya telah dilaporkan ke Washington dan dibahas di kabinet. Tidak ada yang pernah ambil peduli. Setiausaha Negara Colin Powell telah mengirim surat peribadi mengucapkan terima kasih kepada semua menteri luar negeri yang menghantar wakili di persidangan Bonn kecuali seorang wakil yang telah memberi sumbangan paling bermanfaat, iaitu Iran. Dialog dengan perwakilan Iran telah dihadkan pada tahun berikutnya, dianggap (perbincangan) tahap rendah dan pertukaran yang tidak meyakinkan, yang mana segera setelah pasukan AS memasuki Baghdad, kami telah menghentikannya.

Sememangnya, sekalipun diplomat Iran dan pejabat ketenteraan Amerika telah mendukung usaha untuk mengasaskan dan mempertahankan sebuah kerajaan baru selepas Taliban, orang-orang lain di Iran dengan hubungan pegawai tingginya mendukung kelompok-kelompok radikal Palestin seperti Hamas. Sokongan Iran kepada terrorism ini secara langsung merupakan tentangan kepada Israel, di samping program nuklear Iran dan keengganan Iran menyerahkan pemimpin senior al Qaeda dalam tahanannya, yang telah menyebabkan Washington menghadkan dan mengurangkan dialog dengan Teheran mengenai Afghanistan dan Irak.

terjemahan dari tulisan "Time to Deal With Iran" oleh James Dobbins, bekas wakil khas Presiden Bush ke Afghanistan yang telah berunding dengan bekasTimbalan Menteri Luar Iran, Muhammad Javad Zarif pada Perjanjian Bonn 2001. Artikel ini muncul di akhbar Washington Post pada 6 Mei 2004.

Payvand.com : Iran Bakal Bina Dua Janakuasa di Iraq

10/04/2009

The Iraqi government unveils a plan to build two power plants with the help of Iran to generate electricity in the war-torn country.

The agreement was reached between Iraqi officials and Iran's Energy Minister Parviz Fattah in Baghdad on Wednesday.

Iran voiced its willingness to provide Iraq with further electricity exports by installing a number of power transmission lines, Aswat al-Iraq quoted an Iraqi Ministry of Electricity statement as saying.

The two neighboring countries will construct power plants in Najaf and al-Haydariya. Iran also has agreed to build two electricity transmission lines in the Iraqi cities of Kufa and Karbala.

Iranian engineers are helping in the reconstruction of the water and power infrastructure in Iraq.

Iranian companies have been active in the reconstruction of power substations and sewage systems damaged during the 2003 US invasion of Iraq.

Earlier in March, Fattah said a one-billion-dollar credit provided by Iran would be used to implement several economic and energy projects in Iraq.

http://www.payvand.com/news/09/apr/1110.html

Friday, April 10, 2009

Campurtangan Iran di Iraq

09/04/2009


Oleh Lord Corbett

Lord Corbett of Castle Vale chairs the British Parliamentary Committee for Iran Freedom. He is a former chairman of the House of Commons Home Affairs Select Committee.

Britain bukan satu-satunya negara yang memikirkan masa depan Irak yang mana sekarang pasukan kami secara resmi mengakhiri tanggung jawab untuk Basra akhir bulan lalu. Sebaliknya, orang-orang Syiah Iran sedang sibuk bekerja bergerak untuk langkah seterusnya. Teheran telah lama menjadi punca utama kesulitan di negara ini, penggunaan bom pinggir jalan dengan harapan pasukan bersekutu mengalami bencana dan malapetaka yang akan menyebabkan tentera asing lebih cepat mengundurkan diri.

Tetapi Iran telah mengalami kemunduran yang besar. Pada piliharaya kawasan bulan Januari, senarai calon yang bersekutu dengan mereka gagal untuk memenangi sebarang kerusi kawasan itu, malahan di selatan pun yang mana dipercayai paling ramai jumlah penyokong Syiah.

Ini adalah sebagian disebabkan kejayaan Perdana Menteri Nuri al-Maliki mengekang kumpulan militia dan kerana keputusan yang dibuat oleh pemimpin Sunni untuk mengakhiri boikot pilihanraya. (pilihanraya 2005 telah diboikot secara besar-besaran oleh kumpulan Sunni yang merasakan sebarang undi semasa penjajah berkuasa adalah tidak sah.)


Kesukaran kerana dibayangi permusuhan lama, Sunni dan bahkan beberapa nasionalis sekular parti-parti demokratik telah disingkirkan bersama-sama, dengan tiba-tiba membantu kumpulan pembangkang utama Iran, People's Mojahedin Organisation of Iran (PMOI) yang berpangkalan di Camp Ashraf , wilayah Diyala selama lebih dari dua dekad.


Memiliki pengalaman pertama dari paksaan fundamentalis mengawal negara mereka, anggota PMOI telah bekerja keras selama sejak penjajahan 2003 untuk meyakinkan rakyat Iraq bahawa mereka bukan musuh utama Amerika Serikat atau sekutunya, tetapi ialah pemerintah fundamentalis teokrasi Iran.

Setelah kerugian buruk dalam pilihanraya Januari, Pemimpin Agung Iran Ali Khamenei sedang mencuba untuk menghapuskan PMOI sebelum pemilihan parlimen Irak pada bulan Disember bagi menajamkan lakaran politik kerajaan Irak.

Pada akhir Februari, Khamenei memberitahu Presiden Irak Jalal Talabani dalam lawatannya ke Teheran: "Perjanjian dua belah pihak mengenai pengusiran PMOI dari Iraq harus dilaksanakan". Ini merupakan tahap untuk mengatur pro-Iran di Iraq unsur pemerintah untuk meningkatkan tekanan terhadap warga Camp Ashraf dan cubaan untuk mengusir mereka.

Pensihat Iraq National Security Mowaffaq al-Rubaie dalam bulan Mac mengatakan : "individu-individu ini telah di-brainwashed, dan kita harus membebaskan mereka dari racun ini. Apabila kita melaksanakan proses pembuangan toksid ini, jika andaian ini benar, tindakan ini akan menjadi kesakitan pertama. Tidak ada cara lain selain dari memulakan tindakan yang menyakitkan ini."

Bulan terakhir al-Rubaie telah memerintahkan pasukan Irak, yang mengambil alih tanggung jawab untuk melindungi Ashraf dari Amerika pada awal tahun, untuk menghalang pemindahan peralatan termasuk ubat-ubatan dan bahan bakar menjadi Ashraf. Selama tiga bulan, saudara dari anggota PMOI, dokter Irak dan wartawan asing telah dinafikan untuk melakukan akses ke perkhemahan. Tampaknya seolah-olah, di bawah tekanan Iran, yang Iraqis Guantanamo yang membuat mereka sendiri. Ini, tentu tidak bisa menjadi warisan yang kita tinggalkan di belakang seperti yang kita keluar dari Irak.

Sejak tahun 2004, pasukan bersekutu telah memperakui Ashraf semua penduduk Ashraf sebagai kawasan 'Orang yang dilindungi’ di bawah Konvensyen Geneva Keempat. Jawatankuasa Palang Merah Antarabangsa mengatakan bahawa kawasan itu dilindungi oleh Prinsip Non-Refoulement di bawah undang-undang antarabangsa yang melarang Baghdad menyerahkan kembali.

Jika al-Rubaie dibenarkan untuk melaksanakan rencana itu di Inggris akan ada yang menyalahkan ke bahu untuk duduk kembali sebagai sebuah tragedi kemanusiaan terjadi. Pengusiran akan menghapuskan salah satu kumpulan yang merupakan penghalang kuat untuk meluasnya fundamentalisme mullah untuk permulaan lahir demokrasi ini, yang memungkinkan Iran membalikkan beberapa kemajuan yang telah dibuat.

Pemimpin Sunni Iraq seperti Saleh Mutlaq yang mengetuai National Dialogue Front di Parlemen Irak serta malahan beberapa pemimpin Shiah yang berkuasa seperti Ayatollah Ayad Jamaleddin yang merupakan ketua Komite Luar Negeri di Parlemen Irak telah menyarankan agar pasukan AS mengambil semula tanggung jawab melindungi Ashraf akan meringankan beberapa tekanan dari Teheran terhadap pemerintah Irak bagi menindas kumpulan itu.

Sebagai rakan utama kepada pasukan bersekutu yang berperang di Irak, British mempunyai tugas untuk mengemukakan proposal ini kepada pentadbiran Obama. Mr Gordon Brown boleh menggunakan ' hubungan istimewa Britain' untuk mendapatkan perhatian Presiden Obama.

http://www.aawsat.com/english/news.asp?section=2&id=16339