Wednesday, May 6, 2009

Obama: Komentar Ahmadinejad Soal Israel Rugikan Iran

Presiden Amerika Barack Obama mengatakan kecaman Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengenai Israel merugikan Iran, namun berjanji terus mengupayakan "diplomasi yang lebih keras dan langsung" dengan Iran.

Presiden Obama mengatakan komentar pemimpin Iran itu merusak posisi Iran di dunia. Berbicara di Washington, hari Selasa, Presiden Obama menambahkan banyak orang yang kemungkinan simpati terhadap Iran dalam masalah-masalah lain melakukan walk out ketika Ahmaddinejad memberikan sambutan dalam konferensi PBB di Jenewa.

Dalam pidatonya, Ahmadinejad menyebut Israel "rejim rasis paling keji dan sangat menindas"

Obama menambahkan bahwa ia mendapati banyak komentar-komentar presiden Iran mengenai Israel memuakkan, namun menambahkan Iran memiliki banyak pusat kekuatan. Ia mengatakan Amerika akan terus mengupayakan kemungkinan perbaikan hubungan dengan Iran, "tanpa mengesampingkan pilihan-pilihan yang ada".

http://www.voanews.com/indonesian/2009-04-22-voa1.cfm


Gates : US-Iran Contacts Will Be Open

U.S. Defense Secretary Robert Gates says the United States will keep its allies in the Middle East informed as it pursues the possibility of improved relations with Iran, and discounted concerns in the region about a U.S.-Iran deal that could hurt the interests of longstanding American friends such as Egypt and Saudi Arabia. Secretary Gates spoke in Cairo after meeting with Egyptian President Hosni Mubarak.

Secretary Gates said there are some "exaggerated concerns" in the region that a so-called "grand bargain" with Iran will be negotiated in secret and then sprung on the region without warning. He called the prospect of that "very remote" and "highly unlikely."

"What is important for our friends and partners here in the Middle East to be assured of is that the United States will be very open and transparent about these contacts, and we will keep our friends informed of what is going on so that nobody gets surprised," he said.

The secretary said any progress toward improving U.S.-Iran relations will not only be open, but will likely develop slowly.

"Frankly, some of the first things that have happened subsequent to his extension of that open arm, open hand, have not been very encouraging, in terms of statements coming out of Tehran," he said. "We're not willing to pull the hand back yet, because we think there's still some opportunity, but I think concerns out here of some kind of a grand bargain are completely unrealistic."

Some analysts have suggested that the Obama administration move to dramatically change the nature of the U.S.-Iran relationship through a so-called "grand bargain" by, for example, making some concessions on regional security issues in return for an end to Iran's nuclear program and its interference in Iraq and Afghanistan. Secretary Gates indicated that will not happen.

"The focus of that dialogue is on Iran's behavior and uppermost in our minds is taking the measures necessary, with our partners in the region, to maintain their security and their stability, in particular against Iranian subversive activities," said Gates.

That is a major theme of Secretary Gates' visits to Egypt and Saudi Arabia this week. He says it is important for the United States to try to settle its differences with Iran, as President Obama has offered to do. But the secretary also said senior officials are aware that past efforts have failed, and he said it is not clear whether the view in Tehran has changed. He said "all options are available" if diplomacy and economic sanctions fail.

http://www.voanews.com/english/2009-05-05-voa21.cfm

Amerika Tidak Mahu Konflik Dengan Iran

Berita ini disiarkan pada 13 April 2007 di akhbar Harian Sinar Indonesia Baru ; http://hariansib.com/2007/04/as-tak-mau-konflik-dengan-iran/

Diplomasi harus diberikan waktu untuk bekerja dalam pertikaian Barat dengan Iran menyangkut program nuklirnya yang kontroversil, kata wakil Menlu AS urusan politik , Kamis dan menambahkan bahwa konflik dengan Iran tidak diinginkan atau tidak dapat dielakkan.

Berbicara dengan radio BBC, Nicholas Burns mengatakan Barat sedikit banyak telah bersabar dengan mengutamakan diplomasi jika itu bisa dilakukan, dan menambahkan masih ada waktu bagi satu penyelesaian diplomatik atas masalah tersebut.

Kita memiliki waktu untuk berusaha di sini, dan saya kira jika diplomasi terus dilakukan, dan berhasil, maka kita harus bersabar sedikit tentang itu, kata Burns kepada radio itu.
Anda tidak dapat hanya bereaksi dengan emosional apabila anda berbicara tentang masalah-masalah yang sangat serius.

Ia menegaskan: Pandangan kita adalah konflik militer tidak diinginkan dan tentu tidak tak dapat dielakkan , dan jika kita dapat bekerjasama dengan cekatan .. maka kita bisa berhasil. Kita harus harus berusaha.

Iran mengatakan program pengayaan uraniumnya adalah untuk tujuan damai, sipil , tapi negara-negara Barat mencurigai Teheran menggunakannya untuk membuat bom nuklir, dan mengenakan sanksi-sanksi terhadap negara Timur Tengah itu untuk menghentikan program nuklir itu.

Burns juga mengatakan sehubungan dengan dugaan peran Iran mempersenjatai kelompok Syiah di Irak , yang AS duduki Maret 2003, dan memiliki kehadiran militer sekitar 170.000 personil, Amerika harus berusaha untuk menyakinkan Iran agar memainkan peran yang lebih produktif.

Pesan kepada Iran adalah, kita tidak ingin memprovokasi satu konflik dengan mereka, dalam kenyataannya kita menginginkan hubungan yang damai dengan Iran, kata Burns dan menambahkan bahwa AS akan membela pasukannya di Irak jika mereka diserang.

Saya dapat mengatakan bahwa fokus dari usaha-usaha kita haruslah berusaha meyakinkan pemerintah Iran untuk memainkan peran lebih produktif, peran lebih produktif untuk memperkuat perdamaian di Irak

Program Nuklir Iran Terbatas

Sementara itu, ketua pengawas nuklir PBB, Kamis (12/4) waktu setempat mengatakan bahwa Iran hanya sedang mengoperasikan ratusan sentrifugal di pabrik pengayaan uraniumnya di Natanz, bukan 3.000 sentrifugal seperti yang diklaim negara itu .

Mohamed ElBaradei menyatakan program nuklir Iran memang sesuatu yang mengkhawatirkan namun ia mengabaikan klaim Teheran bahwa pihaknya telah memiliki kemajuan besar dalam pengayaan uranium, satu proses yang dituntut PBB agar dihentikan dengan memberlakukan sanksi lebih berat. Sejumlah pakar mengatakan secara teori 3.000 sentrifugal sudah cukup untuk membuat satu hulu ledak nuklir dalam satu tahun namun mereka ragu Iran benar-benar memiliki perlengkapan berhasil sebanyak itu.

ElBaradei, ketua Badan Energi Atom Internasional menuturkan Iran masih berada pada tahap-tahap awal pendirian fasilitas pengayaan Natanz-nya.

Pembicaraan tentang pembangunan fasilitas dengan 50.000 sentrifugal baru berada pada tahap awal, dan negara itu (saat ini) hanya memiliki ratusan, katanya kepada para wartawan di ibukota Arab Saudi, Riyadh.

Iran sendiri mengakui kalau pada akhirnya pihaknya bertujuan mengoperasikan lebih dari 50.000 perlengkapan tersebut di Natanz.

ElBaradei juga membantah dugaan bahwa Iran tengah mengoperasikan program pengayaan uranium tersembunyi.

Belum terbukti sampai saat ini bahwa fasilitas nuklir bawah tanah Iran tengah beroperasi secara rahsia dan Iran tidak memiliki material yang dapat digunakan untuk membuat satu senjata nuklir, katanya.

Begitupun ia tetap menyuarakan kekhawatirannya atas program nuklir Iran dan menuntut Iran menunjukkan transparansi atas isu itu untuk meyakinkan masyarakat internasional bahwa program nuklir mereka bertujuan damai.

Sejumlah diplomat di Wina juga memberikan angka yang lebih rendah tentang sentrifugal Iran. Tanpa menyebut identitas, kepada AP mereka mengatakan bahwa Iran saat ini baru menjalankan sekitar 650 sentrifugal secara seri konfigurasi yang memungkinkan mesin memutar gas uranium ke berbagai tingkat pengayaan. Mereka juga mengatakan mesin tersebut bekerja kosong dan tidak memproduksi uranium diperkaya

Pengawas-pengawas IAEA mengunjungi Natanz sepekan lalu dan dua lagi inspektur IAEA juga telah tiba di negara itu Selasa lalu dan dijadwalkan akan mengunjungi fasilitas tersebut dalam beberapa hari ini.

Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pada Senin lalu mengatakan bahwa fasilitas Natanz telah memulai produksi bahan bakar nuklir berskala industri. Negosiator utama Iran bahkan mengatakan para pekerja mereka telah mulai menyuntikkan gas uranium ke susunan baru 3.000 sentrifugal, jumlah yang jauh lebih banyak ketimbang 328 sentrifugal yang saat ini diketahui tengah dioperasikan di Natanz.

NEGARA TELUK BERHAK KEMBANGKAN NUKLIR DAMAI
Kepala badan pengawas tenaga atom Perserikatan Bangsa-bangsa hari Kamis mengatakan Dewan Kerjasama Teluk (GCC) berhak mengembangkan tenaga nuklir untuk tujuan damai.

Sudah wajar negara GCC memiliki tenaga nuklir untuk tujuan damai, kata Kepala Badan Tenaga Atom Internasional, yang bermarkas di Wina, Mohamed ElBaradei.

Sekitar 150 negara mengunakan tenaga nuklir, katanya dalam jumpa pers bersama Ketua GCC Abdulrahman Attiyah di Riyadh.

Saat melakukan pertemuan tahunan di Riyadh pada Desember lalu, kepala negara GCC mengumumkan keputusan mengembangkan program teknologi nuklir bersama untuk tujuan damai berdasarkan atas peraturan internasional.

ElBaradei mengatakan menganjurkan negara GCC memulainya dengan membangun instalasi untuk kepentingan riset demi melatih petugasnya. GCC mencakup Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Presiden Iran Sambut Baik Signal Positif AS

TEHERAN - Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengatakan bahwa sinyal positif dari AS akan disambut Iran dengan baik. Dengan dasar saling menghormati dan keadilan, Iran akan tetap menyambut baik keinginan AS untuk berkomunikasi.

Ahmadinejad mengatakan bahwa dia menunjukkan keinginannya untuk melanjutkan pembicaraan bersama Washington setelah 3 dekade permusuhan politik dan pemutusan hubungan diplomatik. Iran mendukung calon presiden dari Partai Demokrat Barack Obama atas pendiriannya terhadap Iran tidak terlalu keras dibanding pesaingnya.

Dan pertikaian mengenai program nuklir ataupun tuduhan hanya dapat diselesaikan dalam pembicaraan langsungnya dengan George W. Bush. Pemerintahnya memilih untuk melibatkan AS dengan Uni-Eropa dalam pembicaraan menyelesaikan semua pertikaian.

http://id.ibtimes.com/articles/20081008/komunikasi-keadilan-sinyal-positif-diplomatik.htm


Joe Biden : Usaha-Usaha Iran Tidak Akan Membahayakan Israel.

Pada hari Selasa, Timbalan Presiden Amerika Joe Biden mempertahankan usaha Amerika mendekati Iran dalam masa yang sama memberi jaminan bahawa kumpulan pro-pelobi Israel terus kekal sebagai ‘sekutu yang kekal’ bagi Amerika.

Dalam ucapannya kepada American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) sebuah kumpulan pelobi Yahudi yang berpengaruh di Washington, Biden berkata pemilihan Obama sebagai presiden merupakan seruan pengundi-pengundi di Amerika “untuk perubahan trajektori dunia yang sedang berlaku” tetapi komitmen Amerika kepada Israel tetap menjadi “prinsip penting yang kekal” dan tidak akan berubah.

Biden berkata sebarang perubahan polisi luar di Timur Tengah tidak akan membahayakan keselamatan Israel.. “Semua tujuan baik semasa dekad yang lalu tidak memberikan keputusan yang lebih selamat, kestabilan Timur Tengah”, kata Biden. “Di sana mesti ada satu tempat untuk orang-orang Yahudi pergi dan tempat berkenaan semestinya Israel (tanah yang dirampas dari orang-orang Palestin)”.

Biden selanjutnya berkata, “usaha-usaha untuk memaksa Iran menghentikan cita-cita nuklearnya terus menjadi rumit, tetapi senjata nuklear Iran akan membawa risiko perlumbaan senjata di rantau berkenaan”.

“Sebab itulah kami cuba berhubung dengan Iran secara langsung, menerusi demokrasi berprinsip dengan Iran, dan permulaannya Amerika akan merapati Iran dengan satu kepercayaan yang penuh rasa hormat antara satu sama lain”.

Biden juga menekankan kepentingan penyelesaian masalah palestin dengan mengatakan, perjanjian damai Israel-Palestin akan dapat dicapai. “Fakta yang menyatakan keamanan tidak pernah berlaku tidak bermakna keamanan tidak akan berlaku” kata Biden, Israel dan jiran Arabnya mempunyai kesamaan kepentingan untuk membawa keamanan di Timur Tengah yang sedang diusahakan, tambah Biden.

" Kemajuan terhadap keamanan hanya akan boleh berlaku bilamana manusia … berharap untuk berfikir secara cukup berbeza iaitu ; untuk mengambil risiko ; untuk mengusahakan kompromi secara berprinsip” kata Biden. Sekarang adalah masa untuk bekerjasama untuk menjanjikan hari yang lebih baik, dan untuk kejayaan, kekuatan serta keselamatan untuk sekutu tetap kami, Israel”.

[ The Post Chronicle, 5 May 2009 ]


tenteradajjal.blogspot.com

Friday, April 24, 2009

Iran, Total to continue cooperation: Nozari


TEHRAN, Apr. 22 (MNA) – Iran will continue its cooperation with the French oil company, Total SA, Iranian Oil Minister Gholamhossein Nozari said during his visit to Total’s pavilion at Iran’s international oil show in Tehran.

Total’s Managing Director for Middle East Projects Philippe Rochoux highlighted Iran’s giant oil and gas resources, adding that his company has implemented several oil and gas projects in Iran during past years, IRNA reported on Wednesday.


He further expressed hope that the existing cooperation between the Iranian Oil Ministry and Total SA would further boost.


Iran’s 14th International Oil, Gas, and Petrochemicals Exhibition kicked off on Tuesday in Tehran. More than 450 foreign companies from 34 countries and nearly 860 Iranian firms have taken part in the exhibition.


Total has a memorandum of understanding with the state-owned National Iranian Oil Company to develop Phase 11 of the huge South Pars field but the project has been overshadowed by haggling over contract terms, according to Reuters.


Seyfollah Jashnsaz, head of the National Iranian Oil Company said in March, “We are not happy with the work Total has done on Phase 11 in South Pars. Unfortunately this company has wasted time and our national project has been delayed”.


http://www.mehrnews.com/en/NewsDetail.aspx?NewsID=865709


Wednesday, April 22, 2009

Pelobi Iran : Apa yang Harus Diketahui Bangsa Iran dan Israel

Washington DC/Barcelona, Spanyol – Bayangan panjang konfrontasi Iran-Israel seakan-akan telah ditentukan dari sananya. Mendengarkan para politisi, orang akan merasa bahwa kekuatan di luar kontrol kita menghela kita menuju bencana abad 21. Tetapi semua itu disulut oleh kebodohan dan dehumanisasi. Israil dicap sebagai “Iblis Cilik”, sementara Iran digambarkan sebagai ekstrimis Muslim yang irasional.

Benar, kebodohan-kebodohan dalam masyarakat kita yang terhormat ini dilakukan oleh pemimpin-pemimpin garis keras yang meminta darah dan kehancuran. Mereka memanipulasi dan mendistorsi; lebih dari itu, mereka melakukan apapun untuk menghalangi kita menyadari bahwa sang musuh memiliki sebuah wajah.

Kita bukanlah bocah ingusan yang percaya begitu saja bahwa pengetahuan akan satu sama lain bisa menawarkan solusi ajaib. Kita percaya bahwa kesalingpengertian akan mendorong kita saling berempati dan mengasihi, serta menghentikan pertumpahan darah dan perang.

Berikut adalah beberapa hal pokok yang harus diketahui oleh bangsa Iran dan Israel mengenai satu sama lain:

1. Israel adalah sebuah demokrasi yang antusias namun belum sempurna.

Pada kunjungannya ke Amerika Serikat musim gugur lalu, Presiden Mahmoud Ahmadinejad menyatakan bahwa tidak ada homoseksual di Iran. Di Israel, ada banyak homoseksual dan mereka adalah satu-satunya di Timur Tengah yang memiliki parade gay tahunan di ibu kota mereka.

Demokrasi di Israel berarti setiap warga Negara dan kelompok (Yahudi maupun lainnya) berhak mengekspresikan diri dan berkumpul di publik. Juga, setiap warga negara setara di hadapan hukum, memiliki hak voting, kebebasan beragama, akses pendidikan, perawatan kesehatan, dan kesempatan ekonomi.

Tak diragukan lagi, demokrasi Israel masih dalam perkembangan. Penyatuan agama dan negara telah membatasi hak-hak dan kebebasan rakyat (contohnya, rakyat Israel yang berbeda agama tak dapat menikah tak dapat menikah di negeri itu), dan secara de facto status kedua warga Arab Israel adalah sebuah penghinaan terhadap cita-cita demokrasi di negeri tersebut. Untungnya, banyak orang di Isreal tak pernah lelah berjuang merubah sistem itu dari dalam.

2. Iran adalah sebuah quasi-demokrasi yang bersemangat.

Memang jauh dari demokrasi, namun juga bukan kediktatoran sepenuhnya. Meskipun memiliki pembatasan-pembatasannya yang tegas, Iran memiliki masyarakat madani yang hidup dan memiliki blok-blok bangunan bagi demokrasi yang baik. Perjuangan rakyat Iran bagi demokrasi berawal dari Revolusi Konstitusional 1906. Sejak itu, rakyat Iran telah mendapatkan dua pelajaran berharga.

Pertama, perang dan demokrasi tak bisa dicampur. Ketika ketegangan antara Iran dan dunia luar meningkat, yang pertama membayar adalah aktivis-aktivis pro demokrasi dan hak asasi manusia Iran. Bagi Iran untuk melangkah ke dalam system demokrasi membutuhkan perdamaian dan kedamaian; bom dan surgical strikes akan membawa ke arah sebaliknya.

Kedua, ketika Anda melakukan sebuah revolusi, Anda tahu siapa yang sedang dilawan, dan tak penting bagi siapa revolusi itu dilakukan. Bangsa Iran memiliki sedikit hasrat akan revolusi lainnya. Tak sepopuler pemerintahan mereka saai ini, mereka lebih suka perubahan bertahap dan terkelola.

3. Jejalan dinamai dengan nama penyair.

Sebagaimana Iran, Israel menaruh nilai-nilai hebat pada kata-kata tertulis. Di Isreal, jajalanan dinamai dengan nama para penyair – penulis yang membangkitkan kembali semangat rakyat dan bahasa kuno. Pena dan imajinasilah yang menciptakan bangsa ini, bukan pedang dan otot. Sebagaimana di Iran, percakapan sehari-hari di Israel dibumbui referensi-referensi susastra selain hal-hal praktis.

4. Bangsa Iran kesepian dan suka curiga.

Tak ubahnya orang Israel, rakyat Iran merasa sangat terisolasi di Timur Tengah. Mereka dikepung oleh orang-orang yang berbeda agama dan bahasa. Iran adalah mayoritas Persia dan Shi’ite; tetanga-tetangganya mayoritas Arab dan Sunni.

Iran juga tak memiliki banyak teman di luar Timur Tengah. Jika pun ada, bangsa Iran yakin komunitas internasional tak pernah bersikap adil. Di abad terakhir ini saja, bangsa Iran melawan kolonisasi dan intervensi asing yang berjalan selama berdekade-dekade, belum menyebutkan delapan tahun perang melawan Saddam Hussein, sementara seluruh dunia memihak Irak.

5. Zionisme bukanlah suatu kata kotor.

Dalam sebuah pertunjukan ketaksopanan, banyak pemimpin Iran menyebut Iran sebagai “rejim Zionis”. Ketika disebut “rejim” mungkin tak berpangaruh, karena bagi orang Israel, Zionisme bukanlah suatu kata kotor.

Dari dalam, Zionisme adalah sebuah gerakan pembebasan nasional, yang bertujuan menciptakan rumah yang aman bagi orang-orang Yahudi, serta kebudayaandan identitas nasional mereka. Zionisme adalah jawaban orang Yahudi pada dorongan berabad untuk menghapus mereka dari sejarah. Ketika Ahmadinejad cs berbicara tentang dekatnya ajal Zionisme, sesungguhnya mereka tengah memperkuat gerakan yang coba mereka eliminasi itu.

6. Simpati pada Palestina, namun tak tertarik dengan konflik Israel.

Sekalipun retorika Ahmadinejad sangat sengit, rakyat Iran tak terlalu memikirkan Israel. Mereka jauh lebih peduli akan kepincangan ekonomi dan merajalelanya korupsi. Memang simpati rakyat Iran jatuh pada Palestina, namun bagi mereka ini bukanlah persoalan yang negeri mereka harus terlibat aktif.

Rakyat Iran akan mempertahankan kemerdekaan dan teritori mereka mati-matian, tetapi mereka tak tertarik berkonflik dengan Israel. Rakyat Iran ingat akan serangan Aleksander ke Persia, penaklukan Arab pada abad ke 7 M, invasi Mongol, dan pemberontakan CIA melawan perdana mentri yang terpilih secara demokratis di tahun 1953. Namun tak ada ingatan akan konflik dengan orang-orang Yahudi, karena memang tidak ada. Orang-orang Iran akan menjaganya seperti itu.

Trita Parsi adalah pengarang Treacherous Alliance ― The Secret Dealings of Israel, Iran and the U.S., dan Roi Ben-Yehuda, penulis Israel Amerika yang tinggal di Spanyol, adalah kontributor Jewcy dan France 24. Artikel yang diperpendek ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews). Teks penuhnya dapat dibaca di www.haaretz.com.

Sumber: Haaretz, 19 Juli 2008, www.haaretz.com
Telah memperoleh hak cipta.

Mengapa Diplomasi dan Sekatan Tdak Boleh Dicampurkan

oleh Trita Parsi

17 Disember 2008

Washington, DC – Perubahan sering terjadi lebih cepat daripada yang bisa dipahami orang. Itulah yang terjadi pada realitas politik di Washington tentang Iran.

Dalam waktu kurang dari 50 hari, Amerika akan dipimpin oleh seorang presiden yang membuat dialog dengan Teheran sebagai janji kampanyenya .

Lebih mengejutkankan lagi, salah satu kelompok lobi paling berkuasa di Washington gagal untuk meyakinkan Kongres AS untuk meloloskan sebuah resolusi yang menyerukan blokade laut terhadap Iran. Padahal resolusi itu didukung oleh lebih dari 250 sponsor .

Debat tentang Iran di Washington saat ini bukanlah lagi soal perlu atau tidaknya berunding. Tetapi bagaimana, kapan, dan seperti apa tahapan perundingan-perundingan tersebut harus berlangsung. Namun ini tidak berarti bahwa dialog akan terjadi atau akan berhasil. Lanskap politik di Washington belumlah berubah. Washington masih tergantung pada penggunaan sanksi ekonomi untuk memperlihatkan kekuatan dan pengaruhnya.

Berbicara pada kepada Komite Urusan Publik Masyarakat Amerika Israel awal tahun ini, Presiden terpilih Barack Obama, mengatakan bahwa ia akan berpegang teguh pada seruannya untuk berunding dengan Iran dan menghentikan sikap “kalah sebelum bertanding”. Untuk memenuhi janjinya itu, Obama nampaknya telah berusaha untuk menyeimbangkan posisi pro-dialognya dengan mengadopsi kemungkinan untuk menambah sanksi ekonomi terhadap Iran.

Dalam kapasitasnya sebagai seorang senator, Obama adalah pendukung utama Undang-Undang Sanksi Komprehensif Iran, Akuntabilitas dan Pelucutan 2008 (Comprehensive Iran Sanction, Accountability, and Divestment Act 2008). Undang-undang ini akan mempertegas sanksi-sanksi yang ada sekarang dan membuka kemungkinan bagi terjadinya pelucutan lain. Obama berpendapat pada waktu itu bahwa sanksi-sanksi tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi diplomasi. "Selain upaya diplomasi yang agresif, langsung, dan berprinsip, kita harus terus meningkatkan tekanan ekonomi atas Iran", ujar Obama. Sebagian penasihat Obama telah membawa pernyataan ini selangkah lebih maju dan berpendapat bahwa gertakan (diumpamakan stick)– yang berarti sanksi-sanksi – harus diberikan lebih dulu dalam setiap pendekatan bujuk dan gertak (carrot and stick approach) apapun terhadap Iran.

Obama benar dalam soal pentingnya menggabungkan insentif dan ancaman untuk mendekati Iran. Sanksi-sanksi, secara teroritis, memang dapat membuat Amerika Serikat lebih berpengaruh atas Iran. Namun, cara berpikir seperti ini cukup bermasalah karena sebetulnya sanksi-sanksi yang sedang berlaku saat ini pun sudah membuat Amerika cukup berpengaruh.

Tetapi pengaruh ini hanya dapat digunakan dalam konteks negosiasi. Sanksi bisa berfungsi penting dalam negosiasi Amerika dengan Iran jika Washington bersedia untuk menghentikan sanksi tersebut dengan syarat Iran harus bisa merubah sikapnya secara signifikan.

Kesediaan seperti itu sejauh ini belum ada di Washington. Pengaruh, dalam pemerintahan Bush, masih difahami sebagai sebuah kemampuan untuk memperoleh sesuatu secara cuma-cuma. Pendekatan seperti itu jelas telah gagal; ia tidak mencerminkan negosiasi, tetapi lebih merupakan ultimatum dan ancaman.

Dalam negosiasi, Anda hanya akan memperoleh sesuatu dengan memberikan sesuatu. Dan sebetulnya memang bukan ancaman atau pemberlakukan sanksi baru yang akan mengubah perilaku Iran, tetapi justru tawaran untuk menghentikan sanksi-sanksi yang sekarang berlaku. Dengan pemberhentian sanksilah, Amerika bisa menguatkan pengaruhnya atas Iran.

Tapi tentu saja pengaruh ini hanya berfungsi jika Washington dan Teheran bersedia untuk maju ke meja perundingan. Karena itu, tendensi untuk memaksakan sanksi-sanksi baru sebelum pelaksanaan perundingan akan sangat menggangu agenda Obama. Memberlakukan sanksi-sanksi baru atas Iran – apakah sanksi itu berdasarkan kesepakatan kongres atau perintah eksekutif – hanya akan mengurangi prospek bagi diplomasi. Sanksi akan merusak suasana yang sekarang sudah mulai kondusif dan malah semakin meningkatkan ketidakpercayaan antara kedua pemerintahan. Akibatnya, Amerika justru akan kehilangan kesempatannya untuk menambah pengaruh atas Iran.

Hal yang sama tentu saja berlaku untuk Iran. Jika Teheran terus berusaha untuk melemahkan kebijakan-kebijakan Washington di kawasan Timur tengah untuk meningkatkan pengaruhnya di hadapan AS, itu hanya akan membuat perundingan menjadi lebih tidak mungkin.

Agar berhasil dengan agenda pro-diplomasinya, Obama tidak hanya harus menghindari anggapan yang menyesatkan bahwa Washington tidak memiliki pengaruh atas Iran. Ia juga harus mengakui bahwa memberhentikan sanksi-sanksi bisa jadi merupakan cara untuk membuat Iran berubah. Ia juga harus menahan diri untuk tidak mengacaukan proses menuju perundingan dengan memberlakukan sanksi baru. Tapi pertama-tama, ia harus membebaskan diri dari tekanan pemilih dalam negeri yang, secara historis, motivasinya untuk memberlakukan sanksi telah menghalangi terjadinya terobosan diplomatik AS-Iran.

Dengan demikian, kombinasi antara insentif dan ancamanlah yang akan mengamankan kepentingan-kepentingan AS di hadapan Iran. Di dalamnya, diplomasi harus menjadi yang utama dan sanksi-sanksi sebagai tambahan– bukan sebaliknya.

Trita Parsi adalah penulis buku Treacherous Alliance- the Secret Dealing of Israel, Iran and the US. Ia penerima medali perak Arthur Ross Book Award dari Dewan Hubungan Luar Negeri. Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dengan izin dari Bitterlemons-International.org.

Sumber: Bitterlemons-Internasional.org, 4 Desember 2008, www.bitterlemons-international.org.

Fadlallah: AS dan Iran Bisa Bekerja Sama

BEIRUT, KOMPAS.com - Tokoh ulama Syiah Lebanon, Selasa (14/4) di Beirut, menyampaikan keyakinannya bahwa AS di bawah Presiden Barack Obama akan bisa bekerja sama dengan Iran. Namun, kerja sama itu tidak akan menjadi persekutuan erat antara kedua negara tersebut.

Ayatollah Akbar Mohammed Hussein Fadlallah mengungkapkan keyakinannya bahwa Presiden Barack Obama tulus dalam upayanya memperbaiki apa yang disebut sang ulama sebagai ”citra buruk” Amerika di Dunia Arab dan Muslim.

Fadlallah adalah seorang mantan tokoh spiritual kelompok Hezbollah yang didukung Iran. Dia masih berpengaruh di antara para pengikut garis keras Syiah. Para pejabat Iran yang datang ke Lebanon pun kerap mengunjungi ulama terkemuka itu.

Fadlallah mengatakan, hubungannya dengan Iran tetap baik meski ”ada perbedaan pandangan” atas beberapa masalah. Namun, dia menolak menjelaskannya lebih jauh mengenai perbedaan-perbedaan itu.

Fadlallah (73) adalah pemimpin resmi tertinggi untuk sekitar 1,2 juta pengikut Syiah di Lebanon, kelompok komunitas terbesar di Lebanon.

Dia mengatakan, ada peluang untuk berdialog antara AS dan Uni Eropa di satu sisi, dengan Iran di sisi lain, terkait masalah program nuklir Iran ataupun masalah-masalah lain yang menjadi kepentingan AS, seperti Afganistan dan Irak.

Balikkan kebijakan

Sejak memegang jabatan sebagai Presiden, Januari lalu, Obama secara terbuka sudah berusaha merangkul Iran dalam pidato-pidatonya. Pemerintahannya juga membalikkan kebijakan Presiden AS sebelumnya, George W Bush, dan mengatakan berniat berunding secara langsung dengan Iran atas program nuklir negara itu, yang menjadi pokok ketegangan kedua negara.

Obama juga telah merangkul Suriah, yang pada masa pemerintahan Bush telah diisolasi karena dukungannya kepada kelompok-kelompok garis keras.

Saat berkunjung ke Turki, awal April lalu, Obama menyampaikan kepada dunia Muslim bahwa AS, ”Tidak dan tidak akan pernah berperang dengan Islam.”

Menurut Fadlallah, ketekunan Iran dan kemampuan mereka memasuki industri militer dan nuklir telah memaksa negara-negara Barat berbicara dengannya dalam posisi yang berbeda dari sebelumnya.

Meski demikian, Fadlallah menolak kemungkinan aliansi AS-Iran untuk menghentikan konflik-konflik regional. ”Tetapi, sangat mungkin kedua negara membangun hubungan yang normal,” kata Fadlallah.

Pemimpin Syiah Lebanon itu juga tidak percaya dengan kemungkinan serangan udara Israel yang didukung AS terhadap fasilitas-fasilitas nuklir Iran. Akan tetapi, disebutkan, pemerintahan garis keras baru di Israel bisa saja mengobarkan kembali perang terhadap Palestina, Suriah, dan Lebanon.

”Kami telah mendengar kata-kata yang indah (dari Obama). Namun, persoalannya adalah apakah kata-kata itu bisa diwujudkan menjadi kenyataan?” ujar Fadlallah seperti juga pernah disampaikan pejabat-pejabat Iran.

Dia menambahkan, Obama berusaha memperbaiki citra AS, tetapi masalahnya adalah AS bukanlah negara yang didasarkan atas individu-individu semata, tetapi sebuah negara yang berdasarkan kekuatan lembaga.

Fadlallah menguraikan, kebuntuan perundingan damai Israel-Palestina menjadi ujian pertama bagi pemerintahan baru AS. Hal itu sekaligus menjadi ukuran, apakah Obama mampu menekan Israel untuk berkompromi.

Ditambahkan, dukungan terhadap Israel dari sejumlah anggota Kongres AS dan kelompok-kelompok lobi pro-Israel bisa menjadi halangan untuk meningkatkan hubungan AS dengan dunia Arab.

Fadlallah menolak tuduhan Mesir bahwa Hezbollah telah merekrut orang-orang untuk melakukan serangan di Mesir. Dia menilai tuduhan itu hanya untuk menghancurkan citra Hezbollah yang bertempur dengan Israel di Lebanon selatan.

http://id.news.yahoo.com/kmps/20090416/twl-fadlallah-as-dan-iran-bisa-bekerja-s-70701a2.html

Monday, April 13, 2009

Iranian Nuclear Program

Iran's nuclear program dates back to 1989, when the Russian government agreed to complete the reactor at Bushehr. It was a year of optimism in the West: The Iran-Iraq War ended the summer before and, with the death of revolutionary leader Ayatollah Khomeini, leadership passed to Ayatollah Khamenei and President Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, both considered moderates.

At the beginning of the year, George H.W. Bush offered an olive branch to Tehran, declaring in his inaugural address, "Good will begets good will. Good faith can be a spiral that endlessly moves on." The mood grew more euphoric in Europe. In 1992, the German government, ever eager for new business opportunities and arguing that trade could moderate the Islamic Republic, launched its own engagement initiative.

It didn't work. While U.S. and European policy makers draw distinctions between reformers and hard-liners in the Islamic Republic, the difference between the two is style, not substance. Both remain committed to Iran's nuclear program. Former Iranian President Mohammad Khatami, for example, called for a Dialogue of Civilizations. The European Union (EU) took the bait and, between 2000 and 2005, nearly tripled trade with Iran.

It was a ruse. Iranian officials were as insincere as European diplomats were greedy, gullible or both. Iranian officials now acknowledge that Tehran invested the benefits reaped into its nuclear program.

On June 14, 2008, for example, Abdollah Ramezanzadeh, Mr. Khatami's spokesman, debated advisers to current Iranian President Mahmoud Ahmadinejad at the University of Gila in northern Iran. Mr. Ramezanzadeh criticized Mr. Ahmadinejad for his defiant rhetoric, and counseled him to accept the Khatami approach: "We should prove to the entire world that we want power plants for electricity. Afterwards, we can proceed with other activities," Mr. Ramezanzadeh said. The purpose of dialogue, he argued further, was not to compromise, but to build confidence and avoid sanctions. "We had an overt policy, which was one of negotiation and confidence building, and a covert policy, which was continuation of the activities," he said.

The strategy was successful. While today U.S. and European officials laud Mr. Khatami as a peacemaker, it was on his watch that Iran built and operated covertly its Natanz nuclear enrichment plant and, at least until 2003, a nuclear weapons program as well.

Iran's responsiveness to diplomacy is a mirage. After two years of talks following exposure of its Natanz facility, Tehran finally acquiesced to a temporary enrichment suspension, a move which Secretary of State Colin Powell called "a little bit of progress," and the EU hailed.

But, just last Sunday, Hassan Rowhani, Iran's chief nuclear negotiator at the time, acknowledged his government's insincerity. The Iranian leadership agreed to suspension, he explained in an interview with the government-run news Web site, Aftab News, "to counter global consensus against Iran," adding, "We did not accept suspension in construction of centrifuges and continued the effort. . . . We needed a greater number." What diplomats considered progress, Iranian engineers understood to be an opportunity to expand their program.

In his March 24 press conference, Mr. Obama said, "I'm a big believer in persistence." Making the same mistake repeatedly, however, is neither wise nor realism; it is arrogant, naïve and dangerous.

When Mr. Obama declared on April 5 that "All countries can access peaceful nuclear energy," the state-run daily newspaper Resalat responded with a front page headline, "The United States capitulates to the nuclear goals of Iran." With Washington embracing dialogue without accountability and Tehran embracing diplomacy without sincerity, it appears the Iranian government is right.

Mr. Rubin is a resident scholar at the American Enterprise Institute. petikan dari artikel " What Iran Really Thinks About Talks" oleh Micheal Rubin

sumber : http://online.wsj.com/article/SB123958201328712205.html

Saturday, April 11, 2009

DI SEBALIK HASRAT IRAN BANTU AFGHANISTAN

Oleh Nahar Azmi Mahmud

KESANGGUPAN Iran untuk bekerjasama sepenuhnya dalam usaha membangun semula jirannya, Afghanistan, telah menarik perhatian dunia minggu lalu.

Penyertaan Iran dalam sidang antarabangsa di The Hague, kota negara Belanda itu, menjadi tumpuan jagat kerana beberapa sebab.

Pertama-tama, Iran berkongsi sempadan yang luas dengan Afghanistan.

Kedua, sidang itu tampaknya digunakan oleh para wakil Iran dan Washington untuk bertemu muka dan berkenal-kenalan.

Jangkaan para wakil itu tampaknya tepat kerana dalam sidang itu Encik Richard Holbrooke, Duta Khas Amerika mengenai Afghanistan dan Pakistan, serta Timbalan Menteri Luar Iran, Encik Mehdi Akhondzadeh, telah sempat bertemu untuk mengadakan perbincangan yang singkat.

Sidang antarabangsa itu dihadiri perwakilan daripada lebih 80 negara dan badan antarabangsa. Ia diadakan sebagai sebahagian daripada pengiktirafan dan usaha bersama bagi meningkatkan kemajuan dan memantapkan kedudukan Afghanistan yang kini dilanda ancaman militan Taleban dan Al-Qaeda.

Para pemerhati antarabangsa berkata, ini suatu tanda positif tentang usaha pentadbiran Obama untuk berbaik-baik semula dengan Iran dan menukar dasar luar negara itu.

Namun begitu mereka berpendapat bahawa lebih banyak usaha perlu dijalankan oleh Amerika untuk meyakinkan Iran. Mentelah ketika berkunjung ke Prague, ibu kota Republik Czech, baru-baru ini, Presiden Barack Obama berkata pertahanan nuklear di Eropah penting sebagai pertahanan menghadapi nuklear Iran.

Tidak hairanlah, Setiausaha Negara Amerika, Cik Hillary Clinton, yang mengetuai pewakilan Amerika dalam sidang itu mengatakan bahawa rundingan itu tidak membincangkan sesuatu isu antarabangsa yang penting. Dengan sendirinya beliau tidak menggalakkan sebarang jangkaan besar tentang pertemuan itu.

Menurut beliau, pertemuan itu merupakan pertukaran pendapat antara dua orang pemimpin negara yang baru berkenalan. Namun begitu yang lebih penting kedua-dua pemimpin itu bersetuju untuk berhubung terus.

Cik Clinton telah memuji ucapan Encik Akhondzadeh dalam sidang itu. Katanya, ini adalah satu tanda nyata bagaimana Iran mahu membantu Amerika dan negara-negara lain bagi menjamin masa depan yang baik untuk Afghanistan.

Para pakar berpendapat bahawa kehadiran Iran dalam sidang itu lebih didorong oleh rasa bimbang negara itu tentang perniagaan dan penyeludupan candu, eksport utama Afghanistan. Pemerintah Iran bimbang meningkatnya kes kecanduan yang kian parah dalam kalangan rakyatnya sendiri.

Mentelah di sebalik sekatan ekonomi dan senjata Barat, Iran ingin membuktikan ia mampu berdikari dan tidak boleh dipariahkan (disisihkan) begitu saja di pentas antarabangsa.

Dalam ucapannya, pemimpin Iran itu menegaskan bahawa negaranya bersedia untuk mengambil bahagian dan menjayakan rancangan untuk meningkatkan dan membangun semula negara jirannya, Afghanistan. Langkah ini katanya bukan saja baik bagi negara itu sendiri bahkan untuk kebaikan seluruh rantau berkenaan.

Beliau bagaimanapun mengatakan bahawa perbezaan dalam dasar-dasar negaranya dengan Amerika Syarikat mengenai Afghanistan masih kekal. Negaranya masih bimbang dengan gerakan dan operasi tentera pimpinan Amerika di Afghanistan.

Dalam ucapannya itu, beliau menegaskan bahawa langkah menghantar lebih ramai askar asing ke Afghanistan tidak akan memberi sebarang kesan kepada kestabilan negara itu. Malah kehadiran tentera asing di Afghanistan hanya memburukkan lagi keadaan.

Iran (seluas 1.6 juta km persegi dengan 61 juta penduduk) berkongsi sempadan sejauh 936 km dengan Afghanistan (seluas 647,500 km persegi dengan 26 juta penduduk). Empayar Iran (dulu Parsi) pernah meliputi Afghanistan dan begitu juga sebaliknya. Bahkan agama awal Parsi iaitu Majusi (Zoroastrian) berasal dari kawasan Balk di Afghanistan ketika di bawah empayar Parsi.

Afghanistan diduduki tentera asing sejak zaman penjajah British di India. Namun sejarah mutakhirnya ialah ketika tentera Soviet Union mendudukinya pada 1978 dan berakhir selama 10 tahun. Ketika ini, muncul gerakan Mujahidin yang berjaya menebus kembali watannya.

Malangnya Mujahidin berpecah sehingga muncul Taleban pada awal 1990-an yang dapat menyatukan negara itu. Namun Taleban dikutuk dunia kerana pemerintahan yang tegar dan membela Al-Qaeda. Menerusi bantuan Pakistan, Amerika telah dapat mengusir Taleban dan turut membangunkan pemerintahan Presiden Hamid Karzai.

Malangnya Afghanistan kini berpecah-belah dengan Taleban kian kembali bertaring dan turut menggalakkan penanaman candu (yang dulu diharamkannya).

Pada sidang di Hague itu, Cik Clinton menjelaskan keputusan Pentadbiran Obama mengerahkan 17,000 orang askar tambahan dan 4,000 orang jurulatih tentera untuk membangun satu pasukan tentera Afghan yang lebih kukuh.

Malah sidang itu juga dianggap sebagai satu peluang bagi Amerika dan sekutu-sekutunya dalam pakatan Pertubuhan Perjanjian Atlantik Utara (Nato) untuk menekankan kepada negara-negara jiran seperti Pakistan, Iran dan Russia peri pentingnya kerjasama itu kepada rantau tersebut.

Amerika bermusuh dengan Iran sejak penggulingan Shah Iran ketika Revolusi Republik Islam Iran pada 1979. Para pemberontak, termasuk ketua pelajar Mahmoud Ahmadinejad (kini presiden Iran), telah menangkap sejumlah tebusan di Kedutaan Amerika.

Kini permusuhan dua negara dicetuskan pula oleh hasrat Iran membina kelengkapan tenaga nuklear yang didakwanya untuk tujuan menjana elektrik tetapi dituduh oleh Amerika dan sekutu utamanya di Timur Tengah, Israel, sebagai langkah menghasilkan senjata.

Walaupun Presiden Obama berjanji akan mengutamakan dasar dialog atau diplomasi daripada ketenteraan seperti pendahulunya, bukan mudah bagi dua itu negara berdialog.

Cik Clinton memberitahu para wartawan dalam sidang itu bahawa tiada sebarang rancangan untuk mengadakan perrtemuan empat mata dengan pemimpin Iran itu dalam sidang ini.

Pada masa yang sama para diplomat Barat masih bertanya-tanya berapa lamakah Washington akan meneruskan tekanan ekonominya ke atas Iran?

Sekatan ekonomi Amerika dan kekejaman Israel ke atas Palestin merupakan dua perkara yang dibantah keras oleh Iran, kata pemimpin agamanya, Ayatollah Ali Khamenei. Jika dialog ini diadakan, dua perkara ini terlebih dulu hendaklah diatasi. Mentelah banyak aset Iran, sejak zaman Shah Iran, masih dibekukan di Amerika.

Namun para pengamat yakin Iran bersikap pragmatik dalam membezakan masalahnya dengan Amerika dengan kepentingan Afghanistan. Ramai penduduk Afghan menjadi pendatang asing dan bekerja sebagai buruh murah di Iran. Mentelah 19 peratus warga Afghan merupakan penganut Syiah. Sebagai negara majoriti Syiah, Iran perlu melayani dengan baik penganut semazhab.

Oleh itu, bukan mudah untuk Amerika menangani agendanya dengan Iran yang merupakan pemain penting di Timur Tengah dan tentulah Afghanistan.

Selagi beban sejarah tidak diatasi, kedua-dua negara akan terus curiga-mencurigai.

http://cyberita.asia1.com.sg/komentar/story/0,3617,139240,00.html

'Osama, Al-Qaeda Tidak Bersalah Dalam Serangan 9/11'

Juri TV dakwa tiada bukti kait pemimpin al-Qaeda

AMSTERDAM: Pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden tidak bersalah dan bukan perancang serangan 11 September 2001 (9/11) di Amerika Syarikat, dakwa juri sebuah program realiti di sini, menurut laporan, kelmarin.

Juri terbabit, dua lelaki dan tiga wanita memberi keputusan bersama penonton dalam program akhir Devil's Advocate di stesen Nederland 2, Rabu lalu.

Mereka membuat kesimpulan, tiada bukti Osama perancang serangan Pusat Dagangan Dunia di New York dan Pentagon, lapan tahun lalu.

Belanda adalah negara yang mengasaskan program menyerupai Big Brother dan paling kreatif dari segi format televisyen.

Program Devil's Advocate menunjukkan peguam bela utama dipegang oleh Gerard Spong mewakili penjenayah paling kejam dunia.

Dalam program akhir itu, Spong berjaya meyakinkan juri bahawa propaganda Barat adalah faktor terbesar menyebabkan Osama dikaitkan dengan 11 September.

Juri juga memutuskan bukti tidak mencukupi untuk membuktikan Osama pemimpin sebenar al-Qaeda. Bagaimanapun, juri berkenaan memutuskan Osama 'adalah pengganas yang memutarbelitkan Islam.'

Program itu mengemukakan lebih banyak isu untuk dibincangkan di Belanda mengenai kemasukan imigran asing dan masyarakat minoriti Islam di negara itu.

Belanda mengalami peningkatan sentimen anti-imigran dan anti-Islam selepas pembunuhan pengarah filem, Theo Van Gogh.

Spong diberi perhatian utama dalam perdebatan mengenai imigran dan Islam apabila menyuarakan sokongan supaya tindakan dikenakn ke atas ahli politik anti imigran, Geert Wilders. - Agensi

http://www.bharian.com.my/Current_News/BH/Sunday/Dunia/20090411212619/Article/index_html


Iran, Pakistan dan Afghanistan Bersama Untuk Keamanan Afghanistan

Afghanistan, Iran dan Pakistan sedang mencari visi yang umum untuk keamanan serantau, kata satu kenyataan pada Jumaat setelah berlaku pertemuan tiga menteri dari negara masing-masing.

Keputusan telah dibuat setelah pertemuan di Islamabad antara Timbalan Menteri Luar Iran, Mohammad Mehdi Akhundzadeh, Timbalan Menteri Luar Afghanistan, Mohammad Kabir Farahi dan Setiausaha Luar Pakistan, Salman Bashir, di Islamabad, lapor Press TV.

Ketiga pihak sepakat untuk bekerja sama untuk memajukan perdamaian, keamanan, kestabilan dan kemajuan strategic serantau menerusi kerjasama yang lebih mendalam berdasarkan kepentingan dan sikap saling menghargai dan kesesuaian dengan cita-cita Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Persetujuan itu menjadi dorongan yang kuat kepada ketiga-tiga pihak yang bekerjasama dalam politik, ekonomi, pembangunan, pembinaan semula, serta bidang sosial dan budaya.


Dalam kontek rantau berkenaan, ketiga-tiga negara tersebut menitikberatkan kekuatan mereka untuk memerangi terorisme dan tindakan ekstrimis, membatasi penyalahgunaan dadah dan jenayah tersusun, dan usaha meningkatkan kerjasama serantau.

Perjanjian erat berkenaan adalah rentetan keputusan yang diambil oleh para pemimpin dari ketiga-tiga negara dalam pertemuan mereka pada persidangan ECO di Teheran bulan lalu. Satu pertemuan peringkat menteri akan menetapkan tarikh untuk persidangan berikutnya yang akan diadakan di Teheran.

Kerjasama Jepun

Dilaporkan bahawa Iran dan Jepun berminat untuk memulihkan semula perdamaian dan kestabilan kepada kemusnahan akibat perang di Afghanistan, kata duta besar Iran ke Jepun pada hari Sabtu.

Abbas Araqchi berkata Iran dan Jepun bersedia untuk meningkatkan kerjasama di bidang anti-narkotik dan melaksanakan latihan teknik vokasional di Afghanistan, lapor IRNA.

Menyorot usaha lanjutan Iran dalam pembinaan semula di Afghanistan, dia mengatakan bahawa pemerintah di Tokyo bersedia membantu Iran dalam tugas-tugas besar.

Araqchi mengatakan bahawa Iran adalah rakan Jepun dan menegaskan harapan bahawa krisis sosial yang mendalam dan juga krisis yang lain yang berpunca dari penyeludupan dadah dari Afghanistan akan segera diatasi.

Sempadan timur Iran dengan Afghanistan dan Pakistan merupakan saluran terbesar penyeludupan dadah yang mana sejumlah besar dadah berkenaan disalurkan ke dunia luar. Pasukan keamanan Iran sering bertempur dengan para penyeludup dan pengusaha dadah di sempadan sangat sukar jika tidak dikawal.

Usaha mengekang penyeludup dadah telah menelan pembiayaan negara sekitar 600 juta dolar untuk selama dua tahun sahaja. Selama lebih dua dekad Iran telah kehilangan 3000 polis bantuan dan pegawai penguatkuasa undang-undang untuk kampen anti dadah.

http://www.iran-daily.com/1388/3371/html/national.htm#s371676

Bekas Duta Amerika : Masa Untuk Berurusan Dengan Iran


Oleh James Dobbins, artikel asal - Time to Deal With Iran

Beberapa diplomat Iran telah muncul di Baghdad, dilaporkan berada di kawasan kedutaan Britain. London berharap campurtangan Iran akan membantu sepenuhnya mengurangkan penetangan militia Shiah terhadap pasukan penjajah yang diketuai oleh Amerika dan Iran akan menyokong penubuhan kerajaan sementara Iraq. Ini semestinya suara yang aneh kepada ‘telinga-telinga’ rakyat Amerika, kerana biasanya yang kedengaran ialah rejim Iran sebahagian dari "paksi kejahatan." Namun ini bukanlah kali pertama Tehran memberikan bantuan kepada Washington dalam siri “memerangi pengganas”.

Sebelum berlakunya ‘Operation Iraqi Freedom’ di Iraq dilancarkan, telah wujud ‘Operation Enduring Freedom’. Amerika cenderung untuk berpikir sebelum kampen untuk membebaskan Afghanistan adalah seperti langkah permulaan dan usaha mendominasi. Tetapi sebenarnya perang untuk menjatuhkan Taliban telah lama berlangsung sebelum penglibatan Amerika. Ia dilakukan oleh pasukan bersekutu yang terdiri dari Iran, Rusia, India dan Pakatan Utara. Setelah peristiwa serangan September 11, 2001, Amerika dan bergabung dengan pasukan ini, dan dengan tambahan kekuatan udara Amerika yang besar, Pakatan Utara boleh menawan bandar Kabul dan menurunkan Taliban dari kekuasaan.

Dua minggu setelah jatuhnya Kabul, semua kumpulan dan elemen-elemen utama pembangkang Afghan berkumpul bersama-sama di persidangan yang ditaja oleh PBB di Bonn. Tujuannya adalah untuk menubuhkan sebuah kerajaan baru yang memiliki ciri yang lebih luas menggantikan kerajaan Taliban. Sebagai wakil kepada kerajaan Amerika, saya bekerjasama dengan baik dengan delegasi – delegasi Afghan dan wakil-wakil negara lain yang mempunyai pengaruh besar di antara mereka ialah wakil-wakil dari Iran, Rusia dan India. Semua wakil-wakil ini bekerjasama dan menyumbang penuh kepada persidangan ini. Terutamanya wakil daripada Iran. Dalam dua kejadian, wakil Iran telah memberikan sumbangannya yang begitu menjadi kenangan. Versi asal perjanjian Bonn, seperti yang didraf oleh PBB dan diubah oleh wakil-wakil Afghan yang hadir terluput dua perkara yang penting, iaitu demokrasi dan memerangi pengganas. Wakil-wakil Iran telah mengesan kelalaian ini dan telah berhasil mendesak semula bahawa kerajaan Afghan yang baru perlu memberikan komitmen kepada dua perkara tersebut.

Perkara kedua lebih tegas. Ketika proses persidangan itu sudah menuju waktu penamat. Kanselir Jerman yang dijadulakan akan tiba untuk upacara penutupan. Namun kami masih kekurangan untuk menyetujui isu-isu utama : susunan untuk satu kerajaan sementara Afganistan. Pakatan Utara telah menyatakan ingin memegang 18 dari 25 portfolio kementerian, yang mana telah ditentang hebat oleh kelompok-kelompok pembangkang yang lain. Dari pukul 2-5 pagi wakil-wakil utama - dari Washington, Teheran, Moskow dan New Delhi - bekerja bersama-sama dengan wakil PBB, Lakhdar Brahimi, dan tuan rumah Jerman untuk meyakinkan delegasi Pakatan Utara yang keras kepala untuk berkompromi dengan yang lain.

Dua minggu kemudian Presiden Hamid Karzai dan kabinet barunya telah dilantik di Kabul. Delegasi asing yang paling senior, dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Iran Kamal Kharrazi, telah berhenti di Herat sebagai satu cara atau usaha untuk mengambil salah seorang panglima, Ismail Khan, yang telah menghadiri dan menyokong kerajaan baru itu yang masih diragui oleh rakyat Afghanistan. Di persidangan untuk mendapatkan sumbangan di Tokyo pada bulan berikutnya, Iran telah berjanji memberikan bantuan $ 500 juta untuk pembangunan semula Afghanistan, satu jumlah yang terbesar dari negara-negara tetangga atau dari negara membangun.

Pada bulan Mac 2002, negara-negara penyumbang telah bertemu sekali lagi di Geneva bangi membincangkan keperluan keselamatan kerajaan baru Afganistan. Saya telah menemui diplomat Iran yang sama yang telah mebuktikan sumbangan yang cukup bermakna dalam perjanjian di Bonn. Pada kesempatan ini mereka bersama Jeneral Iran yang telah mengawasi dan mengirim bantuan ketenteraan kepada Pakatan Utara sejak beberapa tahun lamanya, sehingga memperoleh kemenangan di Afghanistan. Sebagai respon kepada permintaan Amerika bahawa masyarakat antarabangsa harus membantu untuk membina tentara kebangsaan Afghan yang baru, Iran menawarkan bantuan, pakaian dan melatih sebanyak 20.000 askar baru Afghan, dan untuk membina berek-berek tentera di Afghanistan.

Saya nyatakan, bahwa pasukan yang dilatih oleh Iranian mungkin bekerja denga satu doktrin militer yang berbeza dari apa yang diajarkan oleh jurulatih-jurulatih askar Amerika. "Janganlah bimbang," kata Jeneral Agung Iran itu, dengan nada separuh lucu, "kita masih menggunakan manual yang sama yang kamu (Amerika) tinggalkan pada tahun 1979 (selepas kejatuhan Shah Iran)." Saya mengutarakan bahawa tentera yang dilatih oleh Iran dan Amerika mungkin telah dipisahkan semangat kesetiaannya. "Baik," respon rakan saya, "kami telah melatih, dan melengkapkan peralatan dan meneruskan bayaran yang mana
dengannya kamu tumbangkan Taliban yang sekarang bergerak atas nama al Qaeda. Apakah kamu menghadapi masalah dengan kesetiaan mereka?" Saya terpaksa mengakui bahawa kami tidak.

Perkara ini dan tawaran Iran untuk bekerjasama mendukung kerajaan Karzai dan menentang al Qaeda dan kumpulan ekstrimis yang lain sepatutnya telah dilaporkan ke Washington dan dibahas di kabinet. Tidak ada yang pernah ambil peduli. Setiausaha Negara Colin Powell telah mengirim surat peribadi mengucapkan terima kasih kepada semua menteri luar negeri yang menghantar wakili di persidangan Bonn kecuali seorang wakil yang telah memberi sumbangan paling bermanfaat, iaitu Iran. Dialog dengan perwakilan Iran telah dihadkan pada tahun berikutnya, dianggap (perbincangan) tahap rendah dan pertukaran yang tidak meyakinkan, yang mana segera setelah pasukan AS memasuki Baghdad, kami telah menghentikannya.

Sememangnya, sekalipun diplomat Iran dan pejabat ketenteraan Amerika telah mendukung usaha untuk mengasaskan dan mempertahankan sebuah kerajaan baru selepas Taliban, orang-orang lain di Iran dengan hubungan pegawai tingginya mendukung kelompok-kelompok radikal Palestin seperti Hamas. Sokongan Iran kepada terrorism ini secara langsung merupakan tentangan kepada Israel, di samping program nuklear Iran dan keengganan Iran menyerahkan pemimpin senior al Qaeda dalam tahanannya, yang telah menyebabkan Washington menghadkan dan mengurangkan dialog dengan Teheran mengenai Afghanistan dan Irak.

terjemahan dari tulisan "Time to Deal With Iran" oleh James Dobbins, bekas wakil khas Presiden Bush ke Afghanistan yang telah berunding dengan bekasTimbalan Menteri Luar Iran, Muhammad Javad Zarif pada Perjanjian Bonn 2001. Artikel ini muncul di akhbar Washington Post pada 6 Mei 2004.